Senin, 08 Desember 2014

responding paper topik 9

RESPONDING PAPER TOPIK 9
RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)
a.        Kesetaraan Perempuan dalam  Perjanjian Baru dan Kitab Kanon
Secara umum gereja-gereja liberal menerima keberadaan perempuan sebagai pemimpin dan menempatkannya sejajar denga laki-laki. Tidak bisa disangkal dunia ini memang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karena itu merupakan konsekwensi implementasi demokrasi. Namun sehebat apapun demokrasi di suatu Negara, demorkasi tidak bisa menguubah dan menghancurkan apa yang diajarkan kitab. Berikut ini adalah beberapa persamaan (kesetaraan) antara permpuan dan laki-laki dihadapa Allah:
·         Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah “maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (kejadian 1:27).
·         “jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca bahwa ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?”(Matius 19:4)
·         “sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan”(Markus 10:6)
·         Perempuan juga bernubuat dan dipenuhi roh kudus
“Juga keatas hamba-hamba-Ku laki-laki dan perempuan akan kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu dan mereka akan bernubuat” (Kisah 2:18)
·         Perempuan menyanyi dihadapan Allah
“Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah perempuan-perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambal menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing”(1Samuel 18:6)
·         Perempuan juga memiliki iman hebat
“Maka yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai Ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kuhendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh”(Matius 15:28)
·         Perempuan sebagai penyembah hebat
“Tetapi yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan sesuatu perbuatan yang baik pada-ku” (Matius 26:10)
·         Perempuan sebagai pengajar bagi anaknya perempuan dan laki-laki
“Maka dengarlah firman Tuhan, hai perempuan-peremuan, biarlah telingamu enerima firman dari mulut-Nya; ajarkan ratapan kepada anak-anakmu perempuan, dan oleh setiapperempuan nyanyian ratapan kepada temannya” (Yeremia9:20)

b.      Status dan Peran Perempuan dalam Perjanjian Baru
Kondisi kaum perempuan dalam agama Kristen tidak lebih baik dibandingkan nasib mereka dalam agama Yahudi. Agama Kristen memberikan sedikit perhatian terhadap isu-isu tentang perempuan. Lahirnya gama Kristen tidak memperbaiki kondisi mereka maupun memberikan hak-hak yang patut mereka peroleh. Agama Kristen tidak membebaskan perempuan dalam cengkraman otoritas kaum laki-laki. Sebaliknya, ahama Kristen memaksa perempuan untuk tunduk pada otoritas kaum laki-laki dan menaati mereka secara mutlak. Paulus berkata: “wahai para istri patuhlah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suamimu adalah pemimpin istrinya sebagaimana Kristus adalah pemimpin gereja.
Yesus merobohkan kebiasaan dan hokum Yahudi yang telah berabad-abad dipraktikan. Ia memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki. Sikap dan andangannya menunjukkan bahwa Yesus menghormati kaum peremuan. Sabda-Nya: “Sebabsiapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di Sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku (Matius 12:50). Demikian pula apabila kita memperhatikan bagaimana sikap Yesus terhadap perempuan. Yesus memperlakukan perempuan secara positif perempuan berdosa yang datang kepadanya untuk mengurapi kakinya dengan minyak narwastu. Hal itu sangat bertentangan dengan sikap para laki-laki yang juga hadir di tempat yang sama. Laki-laki cenderung menolak dan menyalahkan perempuan yang berdosa yang meminyaki kaki Yesus. Sangat menarik sikap Yesus jika disbanding dengan laki-laki yang lain. Napak bahwa sebagai laki-laki yesus tidak memanfaatkan posisinya untuk mendominasi perempuan.
Dalam Petrus berkata dalam surat pertamanya: “Wahai para budak, patuhilah kepada tuan-tuanmu dengan segala hormat, tidak hanya kepada mereka yang bersikap baik dan penuh perhatian tetapi juga pada mereka yang berlaku kasar. Disamping itu ada juga surat-surat Paulus kepad beberapa jemaat di daerah pelayanannya yang menunjuk adanya dualism. Disatu pihak Paulis mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dibedakan dari kebangsaannya (Yahudi dan Yunani). Seseorang juga tidak boleh dibedakan dari statusnya (budak atau tuan;laki-laki atau perempuan), semua sama di dalam Kristus. Namun, dipihak lain secara jelas tampaknya dibedakan status antara laki-laki dan perempuan. Istri harus hormat dan tunduk pada suaminya, sebab suami adalah kepala dari Istri.
Kitab injil juga membuat ulasan khusus mengenai laki-laki, karena umat Kristen percaya bahwa lai-laki diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh karena itu para ahli teolog sepakat bahwa laki-laki dan perempuan tidak akan pernah setara. Posisi Paulus berkata dalam surat pertamanya kepada umat Corinthian: “Sekarang aku ingin kalian mengetahui bahwa pemimpin setiap manusia adalah Kristus, dan pemimpin perempuan adalah laki-laki, dan pemimpin Kristus adalah Tuhan.”
Paulus memerintah para laki-laki untuk mengasihi para istri mereka: “Wahai para suami, cintailah istrimu, segabaimana Kristus mencintai gereja dan menyerahkan dirinya untuk istrinya”. Namun hal ini tidak lebih dari sekedar menasehati belaka yang tidak pernah dipraktikkan. Gereja juga menganjurkan agar laki-laki harus bersikap baik kepada istrinya, namun gereja menerikan hak penuh kepada suami untuk mengontrol kehidupan, uang dan segala milik istrinya. 
c.       Status dan Peran Perempuan dalam Perspektif Teolog Kristen
Agama Kristen menganggap perempuan sebagai sumber kejahatan. “mereka percaya bahwa setiap perempuan bersalah melakukan dosa asal dan dia bertanggungjawab atas pengusiran Adam dari surge. Kisah Adam dan Hawa adalah penyebab utama penindasan perempuan dalam agama Kristen. “Tertullian” percaya bahwa kaum perempuan adalah pasangan Lucifer. Bukankah perempuan mentaati setan dan menentang Tuhan? Teori yang dikembangkan dan dijelaskan oleh Tertullian ini menyebabkan terjadinya penindasan dan penghinaan terhadap perempuan Kristen selama beberapa abad.
Alkitab dalam teologi Calvinis adalah sumber dari ajaran gereja. Sebagai Sumber Ajaran Gereja, Alkitab menduduki posisi penting dalam peruusan dogma dan pengajaran umat. Namun, landasan operasional tritunggal panggilan dan pengutusan gereja mengacu pada kesaksian Kanon Alkitab yang ditafsirkan sesuai konteks masa kini. Teks Alkitab dan konteks umat percaya masa kini terjalin dalam relasi Hremeneutika yang memakai pendekatan yang komprehensif. Hermeneutika diperlukan guna menemukan pesan firman bagi umat masa kini.
Begitu banyak kisah perempuan yang diceritakan Alkitab. Kisah mereka bermacam-macam. Ada kisah yang memilukan, menyedihkan karena mengalami kekerasan seperti kisah Tamar, yang diperkosa saudara seayah tetapi lain ibu dan tamar tak mendapat pembelaan dari ayahnya raja Daud atau tua tua agama. Bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan di kalim sebagai dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah Galatia 3:2839 yang berbunyi: “Dalam hal ini taka da orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Krists Yesus.”
Galatia 3;28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat diatas khususnya Galatia 3:28, para feminis menyimpilkan bahwa Paulus jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama baik di gereja ataupun dalam rumah tangga.
d.      Partisipasi Perempuan di dalam Gereja
Alkitab dalam tradisi gereja sering dijadikan dasar atau alasan penyebab terjadinya permasalhan ketidak seimbangan peran dan tempat antara laki-laki dan perempuan. Tradisi gereja selama berabad-adab menggunakan konsep yang diperoleh dari beberapa bagian Alkitab sebagai dasar untuk membeberkan pemahaman tentang tempat perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan selalu dianggap lebih lemah, rendah dan kurang mampu sehingga gampang dikuasi. Sedangkan laki-laki kedudukannya lebih tinggi, sebagai pihak yang menguasai, karenanya laki-laki lebih banyak mempunyai kesempatan untuk memegang kekuasaan dan kepemimpinan.
 Konsep demikian masih sering mempengaruhi cara berpikir gereja di zaman ini. Karena itu, pengaruh yang begitu kuat dari konsep Alkitab terhadap konsep berpikirjemaat tentang perempuan perlu dikritisi sehingga mempunyai makna yang baru. Apabila kita membaca surat-surat Paulus, tampaknya memberikan kesan adanya konsep pemahaman yang melarang perempuan terlibat aktiv dalam kegiatan pelayanan dan ibadah jemaat misalnya 1 Korintus 11 :2-16 berbicara tentang larangan bagi perempuan untuk mengambil bagian aktif dalam kegiatan doa dan bernubuat.
Demikian juga dalam 1 Korintus 14 :33-35 dan Timotus 2 :11-12. Perikop ini sering dijadikan alasan untuk membatasi kesempatan pada perempuan untuk terlibat aktif dalam kepemimpinan gereja. Dalam nas-nas terebut kita membaca ajaran paulus kepada jamaat di Korintus agar kaum perempuan tidak berbicara dan tidak terlibat pada ibadah jemaat. Kedua teks ini telah ditafsirkan sedemikian rupa oleh banyak orang sehingga gereja-gereja tertentu yang membatasi peranan keterlibatan perempuan hanya pada bidang-bidang pelayanan tertentu. Anjuran agar perempuan tidak berbicara dan mengajar sering mempengaruhi pemahaman gereja dalam menentukan tempat bagi perempuan. Pemahaman teks yang salah ini akan sangat menghambat partisipasi total perempuan dalam gereja, bahkan merupakan penolakan terhadap diterimanya perempuan dalam tingkat pengambilan keputusan di gereja. Akibatnya kepemimpinan gereja lebih banyak dipegang oleh kaum laki-laki dan pengambilan keputusan dalam gereja lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Sementara perempuan hanya berperan sebagai pelaksana-pelaksana keputusan yang dibuat oleh laki-laki.

Pada ibadah atau kegiatan jemaat, perempuan harus berdiam diri, tidak boleh berbicara dan harus tetap pada perintah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau belum jelas, tidak boleh langsung ditanyakan ditempat ibadah, tetapi harus minta penjelasan suaminyya di rumah, sebab tidak sopan bagi perempuan berbicara dalam pertemuan jemaat. Pada peraturan ini agaknya terkandung kesan bahwa perempuan tidak boleh berbicara dalam jemaat dan ada kesan laki-laki lebih tahu, lebih pandai dan lebih memahami segala sesuatu ketimbang perempuan.

responding paper topik 8

RESPONDING PAPER TOPIK 8
RELASI GENDER DALAM AGAMA YAHUDI
Oleh:
E. Ova Siti sofwatul Ummah (1112033100049)

a.      Gender dalam Perspektif Yahudi
Perempuan dalam perspektif Yahudi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan. Batshebe sebagai perempuan yang hebat, Deborah sebagai nabi perempuan, Ruth sebagai orang terpandang dan Esther sebagai juru selamat rakyatnya, misalnya, adalah contoh dari beberapa sosok wanita tangguh Yahudi. Selain dianggap sebagai makhluk yang kuat, baik, dan sopan, dalam tradisi yahudi juga ditemukan bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melhirkan kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci. Bahkan di sembunyikan di goa-goa gelap atau di asingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor kalau anaknya laki-laki, sedangkan jika anaknya perempuan maka masa tidak sucinya atau masa kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus menemui pendeta untuk penebusan dosa atasnya. Bahkan dalam Talmud ada doa, “saya berterimakasih pada Mu ya Tuhan, karena tidak menjadikan aku perempuan”.
Para PendetaYahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan Hawa:  "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam berkabung, menjadi budak yang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian." Walaupun perempuan dinggap sebagai makhluk yang kuat, baik, dan sopan, dalam Yahudi laki-laki mempunyai posisi lebih dominan dibandingkan dengan perempuan, dalam posisi dominan inilah terjadi terciptanya ketidakadilan gender. Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.
Dalam agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertualah yang lebih utama dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan, agama Yahudi poligami di haruskan dan jumlahnya tidak di batasi, karena tidak terdapt larangan dan batasan untuk itu. Sedangkan kedudukan seorang istri dan anak perempuan berdasrkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli suaminya dari bapknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagi anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berha membeli ataupun menjual, semua hrta bendanya milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain mas kawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat. 
Sementara dalm buku Fundamentalism and Women in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharman dan Katherine K. Young, dijelaskan : As we shall see, women’s roles are a profound syimbol of the extent to which Jewish societies accept, or rejeck, modernity and Westernization. (seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah symbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak Modernitas dan Westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapat penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi. Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu  kunci penting untuk memahami peran Fundamentalis, yang berdampak pada kontruksi identitas perempuan Yahudi. Budaya Yahudi, dan kehiduan perempuan Yahudi. Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies. (Ilmuan Sosial Kontemporer mengasumsikn bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis di tentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat). Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terjadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminism berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dn martabat perempuan.
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar, bahwa laki-laki dan wanita adalah ciptaan tuhan, pencipta alm semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita pertama Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal ini penciptaan Adam dan Hawa diuraikan secara rinci di dalam kitab PL, Kejadisn 2:4-3:24. Yang intinya, tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakan kesalhan semua kepad Hawa, “Wanita yang kau berikan kepada saya, dia membri buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya. “Akibat Tuhan berkata kepada Hawa: “Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada saat kamu melahirkan. Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu”.
Kepada adam Tuhan berfirman: “karena kamu mendengarkan ap yang dikatakan istrimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut…saya turunkan kamu ke bumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang ada dibumi sampai kamu mati…”. Para Pendeta Yahudi telah memberikan Sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan Hawa: “kepada wanita Tuhan memberikan Sembilan kutukan dan kematian, beban berupa darh menstruasi, dn darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutup kepala dalam hal berkbung, menjadi budak dan melayani tunnya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian”.
            Hingga saat ini orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo’a mengatakan “Terimakasih kepada Tuhan Raja Alam Semesta Yang tidak menjadikan kami seorang perempuan”
b.      Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan ada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalm hubungan antar satu manusia dengan manusia lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender. Baik bagi kaum laki-laki maupun bagi perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalh sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini sering kali menimbulakn ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalh stereotype, marjinalisasi, diskriminasi. Tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan reaksi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatkan bahwa hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan kelompok yang kalah. Di Amerik Serikat tahun1949 hal ini dianggap lucu ketika dikatakan demikian, apalagi di zamn sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa dan tidak bertindak layaknya seperti kelompok yang kalah. Dia menambahkan bahwa perempuan telah menyelesaikan emansipsinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan “jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Diseluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi  peran wanita”.

Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Women pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender. Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?” 
Henry Makow dalam tulisannya -Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society- telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.

Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature that provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially, sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text, both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative representations of women as objectively beautiful, passive, obedient (Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer  dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban. Artinya Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.

responding paper topik 6

RESPONDING PAPER TOPIK 6
PERJUANGAN KESETARAN GENDER DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)

a.                  Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Mesir
Perempuan bukan hanya makhluk yang katanya lemah, pasif dan lain-lain. Perempuan juga mampu menjadi penggerak bahkan pelopor. Perempuan-perempuan hebat seperti Zainab Al-Fawwaz dan Aisha al-Taimuriyya, misalnya yang mengawali bahkan menjadi pelopor dan penggerak gagasan-gagasan mengenai hak-hak perempuan pada pertengahan abad ke-19 melalui tulisan tulisannya.
Perempuan mesir adalah pelopor gerakan feminis bukan hanya di negeri mereka sendiri, tapi juga di sepanjang wilayah timur tengah. Bahkan perempuan Mesirlah yang misalnya, memprakarsai pembatalan kewajiban penmakaian cahar pada awal abad ke-12, diawali ddengan penanggalan cadar Huda Shaarawi dan Saiza Nabrawi di stasiun kereta api Kairo setelah kembali dari sebuah konferensi feminis internasional. Mereka mendeklarasikan “Keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan serta pengekangan atas perempuan di rumah.
Perempuan Mesir juga mulai menyebut diri mereka sebagai kelompok feminis pada 1923 dengan pembentukan Persatuan Feminis Mesir (EFU).
Berikut adalah tokoh tokoh pembaharu di Mesir:
1.      Qasim Amin
Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminis muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi wanita muslim melalui karya-karyanya. Qasim Amin memunculkan gagasan didasari oleh keterbrlakangan umat Islam yang menurutnya disebabkan salah satunya oleh presepsi dan perlakuan yang salah terhadap wanita.
        Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus dikalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktifitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat mengiringi manusia untuk maju dan berjejak pada kebahagiaan. Tidak seorangpun dapat menyerahkan kebahagiaannya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak. Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin memandang perempuan pada saat itu adalah bagaikan budak yang tidak memiliki kebebasan berbuat dan beraktifitas. Banyak kaum pria yang beranggapan bahwa mengurung wanita di dalam rumah adalah cara terbaik agar perempuan menjadi manusia terbaik pula. Bagi Qasim Amin, memberi hak laki-laki untuk mengurung wanita didalam rumah jelas menyalahi dan bertentangan dengan hak keebasan perempuan yang tidak bisa dicabut dan merupakan hak natural.

Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan perempuan sederajat dengan pria dalam hal tanggungjawab di muka bumi dan kehidupan selanjutnya. Jika perempuan melakukan kesalahan atau tindak criminal bagaimanapun hokum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hokum padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuka akal menganggap perempuan memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apapun atas perempuan ketika kebebasannya dirampas.
Bahwa kebebasan kaum perempuan akan membahayakan kesucian mereka, menurut Qasim, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan perempuan bisa menambah pengertian akan tanggungjawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim menyajikan data statistic bahwa kaum perempuan dibarat banyak memperdaya suami mereka.
Disamping menganjurkan kebebasan bagi perempuan, Qasim Amin juga mengecam tradisi pemingitan terhadap apara perempuan waktu itu. Pemingitan jelas sekali mengurung perempuan dan mencabut kebebasannya. Pemingitan hanyalah satu hal yang merugikan yang nantinya akan membuka penyalahgunaan. Pemingitan dan mengasingkannya pada legalitas statis yang rendah adalah perbuatan yang bertentangan dengan kebebasan manusia. Jelas saja ini bertentangan degan syari’ah karena menghalangi perempuan untuk bisa menikmati haknya dibawah klaim syari’ah dan hokum kemanusiaan yang mengakui perempuan sejajar dengan pria dan mampu mngatur urusannya sendiri. Maka menurut Qasim amin, perempuan harus mendapat ppendidikan yang memadai. Pendidikan untuk perempuan sama halnya seperti pendidikan untuk laki-laki.
Qasim Amin menegaskan bahwa separuh penduduk dunia adalah perempuan, karena itu membiarkan wanita dalam kebodohan sama halnya dengan membiarkan separuh potensi bangsa tanpa manfaat. Kondisi seperti ini sama saja dengan menghambat cita-cita bangsa. Jika perempuan Mesir dibebaskan dari kebodohan maka mereka akan mampu untuk menekuni ilmu pengetahuan dan menguasai berbagai keterampilan, mengelola perdagangan dan perindustrian seperti perempuan di Barat. Sebenarnya perempuan juga akan mampu bertindak kreatif dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain jika deberi kesempatan melatih diri dalam kegiatan kemasyarakatan serta melatih dan membina potensi aksi dan hasmani secara terarah dan baik.
2.      Zainab al-Fawwas
Zainab al-Fawwas adalah perempuan terpelajar autodidak Lebanon yag lahir pada decade 1850-an. Dia tumbuh disebuah desa tak dikenal hingga menjadi figure terkenal dilingkaran intelektual Lebanon dan Mesir. Zainab tak pernah keluar dari harem. Dari dalam harem satu-satunya yang dapt dilakukan oleh Zainab adalah mengisi kolom-kolom media Arab dengan artikel-artikel dan puisi-puisi yang menyuarakan kebencian pada hijab dan mengecam pengucilan perempuan. Kedua, paparnya, merupakan kendala utama bagi bangkitnya kebebeasan kaum Muslim, dan juga menjelaskan lemahnya perlawanan menghadapi tentara colonial Barat.
3.      Zainab al-Gahzali al-Zubaili
Zainab al-Ghazali al-Zubaili adalah perempuan yang sangat luar biasa. Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam. Untuk memperjuangkan persamaan hak kaum wanita yang saat itu tindakan zalim pemerintah Mesir terjadi dimana-mana. Dia adalah keturunan khalifah kedua Islam, Umar ibn Khattab. ia wafat dalam usia 88 tahun meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis perempuan yang tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalism.
Pada usia 10 tahun ia telah memperlihatkan kecakapannya berbicara didepan umum. Keinginan dan tekadnya yang kuat membuatnya maju untuk menempuh jenjang pendidikan yang tinggi, saat itu kaum perempuan jarang yang mengenyam pendidikan, karena dianggap tabu. Pada saat ia berusia 18 tahun ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia muga aktif di organisasi Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahu 1923. Namun tak lama ia mengundurkan diri dari organisasi itu, karena bersebrangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Zainab banyak dipengaruhi oleh mendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan al-banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik, ia adalah orang yang lantang mempertahankan syari’ah dan kerap mengahdapi masalah dengan rezim Mesir saat itu.

b.                  Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Gerakan Perempuan dalam memperjuangkan ketidak adilan gender berpuncak pada saat revolusi Iran. Revolusi tersebut terjadi antara pemerintahan Iran dan para feminis yang didukung oleh urama. Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya perubahan system fundamental pada pemerintahan Iran hingga sekarang. Peristiwa tersebut dilandasi oleh perjuangan politik perempuan di Iran. Ialah untuk memperjuangkan keadilan dan menghapus diskriminasi gender yang diawali pada tahun 1950an. Dasar-dasar perjuangan perempuan di Iran yaitu berupa untuk menghapus ketidak adilan terhadap perempuan, diantaranya: (1) diskriminasi dan pembatasan hak perempuan, (2) stereotype dan prasangka terhadap perempuan, (3) perempuan cenderung tidak sadar akan kedudukannya di mata hokum, hak-hak yang dimilikinya, pengaruh hokum atas dirinya, serta keberadaan yang cenderung dijadikan objek ketidakadilan.
Tujuan para feminis Iran difokuskan pada upaya untuk:
·         Menciptakan front solidaritas perempuan Iran untuk membela hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran serta menghimpun kekuatan perempuan melalui persatuan dan solidaritas.
·         Ikut andil dalam mengangkat status social dan budaya perempuan di sector-sektor umum dan khusus.
·         Ikut serta secara aktif dalam menyumbangkan gagasan, pendapat dan karya sesuai program nasional yang bertujuan membangkitkan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi perempuan, dll.
Ada tiga fase dalam menggambarkan gerakan perempuan di Iran pasca kemenangan revolusi Iran:
·         Fase pertama, sepuluh tahun pertama pasca revolusi Iran (1979-1989, di era pemerintahan Ayatullah Khomeini) menghasilkan berbagai peraturan yang bias gender. Misalnya peraturan yang melarang jabatan hakim bagi perempuan, ddengan alasan wanita lebih emosional dan irrasional. Pada era ini sudah muncul oposisi gerakan perempuan Iran yang melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan hak-hak kaum perempuan dan korban kekerasan.
·         Fase kedua, sepuluh tahun kedua (1989-1999) pasca revolusi Iran terjadi perubahan terhadap berbagai peratuan yang bias gender. Peraturan tersebut secara bertahap mulai direvisi. Sehingga 11 tahun setelah revolusi Iran, pemerintah mencabut pelarangan hakim perempuan di Iran. Pada era ini, pemerintah Iran juga membuat kebijakan yang emnjamin hak-hak reproduksi perempuan. Perempuan Iran sudah ada yang emnjadi anggota parlemen, bahkan ada yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Hal ini tentunya tampak signifikan dari jaminan pelaksanaan ha katas pendidikan rakyat.
·         Fase ketiga, sepuluh tahun ketiga (1999 sampai sekarang), pada fase ini, banyak perempuan, baik secara individu maupun kelompok terus memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi Iran. Mereka yang kemudian menciptakan model gerakan perempuan di Iran. Model yang dikembangkan adalah:
·         Tuntutan yang diajukan kaum perempuan didominasi oleh persamaan hak-hak perempuan dan perlindungan hak anak.
·         Tuntutan merevisi hokum keluarga di Iran karena banyak yang mengabaikan jak perempuan dan anak, terutama hokum yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dan implikasinya.
·         Menyuarakan gagasan bahwa HAM universal tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal-hal yang sudah jelas di atur dalam Al-Qur’an, misalnya hak waris yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dan kewajiban menggunakan jilbab, tidaklah menjadi bagian yang mereka gugat. Inilah yang membedakan gerakan perempuan barat dengan gerakan perempuan  di Iran, di Iran gerakan perempuan justru meyakini banyak pihak bahwa ajaran Islam dan hokum Islam tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal.
Berikut ini adalah factor-faktor yang mempengaruhi dan mendorong terjadi perubahan kebijakan di Iran dan secara signifikan juga telah telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gersksn perempuan di Republik Islam Iran:
·         Factor pertama, meningkatnya pendidikan
·         Factor kedua, perubahan politik di dalam negeri karena munculnya kesadaran dan tafsir hokum Islam yang tidak lagi didasari budaya patriarki.
·         Factor ketiga, munculnya tokoh-tokoh perempuan Iran yang berani melawan kondisi sosial, politik, dan sosial budaya di Iran.
·         Factor keempat, munculnya kesadaran para Mullah (pemuka agama) dan pemimpin Iran bahwa ajaran Al-Qur’an senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan kitab tersebut yang menjadi dasar Islam bagi konstitusi Iran, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Iran yang bias gender.
·         Factor kelima, factor sosial budaya masyarakat yang menghormati perempuan mulia dalam sejarah Islam, misalnya, Putri Rasulullah Saw. Fatimmah Az Zahra.
Perubahan sosial dan budaya yang berpihak terhadap perempuan Iran ternyata sangat dipengaruhi oleh duua hal, yaitu:
·         Pertama, political will dari pemerintahan Iran.
·         Kedua, adanya peran dari para ulama setempat.
Perkembangan konstitusi tentang kebijakan-kebijakan yang dampaknya mengarah ke kaum perempuan oleh pemerintah, ditandai dengan adanya kebijakan sebagai berikut:
·         Menetapkan hari kelahiran Fatimah Az Zahra sebagai “Hari ibu” di Iran
·         Dukungan bagi lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan di Iran.
·         Mewajibkan wanita di Iran untuk mengenakan Hijab.
Perjuangan feminis di Iran, tidak serta merta lancar tanpa hambatan, terlebih politik perempuan di Iran jugga mengalami hambatan seperti:
·         Kurangnya representasi perempuan di jajaran pemerintahan.
·         Beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban professional.
·         Ideology gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki.
·         Persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan “kotor”
·         Keterlibatan media massa.

c.       Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Turki
Di Negara Turki kondisi wanita pada masa pemerintahan Kemal Attaturk sedikit lebih baik, dari berbagai kebijakan yang di lakukan oleh Kemal Attaturk yang ada tersebut itu melahirkan beberapa perubahan yang agresif, salah satunya adalah transformasi setatus wanita, dimana tersedianya pendidikan dasar bagi wanita. Persoalan wanita merupakan persoalan yang sangat krusial bagi perkembangan masyarakat turi moderen, oleh karena itu Kemal attaturk sangat memperjuangkanya hingga banyak didirikan sekolah-sekolah bagi kaum wanita yang berkembang pesat. Hal ini menjadi langkah awal bagi perkembangan Gender di Turki. Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Pada tahun 1920 dan telah terjadi perubahan yang sangat radikal, dengan adanya ketetapan dan Undang-undang di Turki pada tahun 1924 Undang-undang Turki mengharamkan Poligami, memposisikan wanita berkedudukan yang sama dengan laki-laki didalam perceraian, menegakan hak persamaan wanita dalam pendidikan dan pekerjaan, dan pada tahun 1934 Undang-undang Turki menetapkan dan menentukan hak untuk pencalonan dan dicalonkan terhadap wanita didalam pemilihan nasional dan pada tahun 1935 terpilihlah wakil rakyat turki dari kaum wanita yang pertama.