RESPONDING
PAPER TOPIK 5
TOKOH-TOKOH
PEREMPUAN DALAM MEMBANGUN PERDABAN ISLAM
Oleh:
E.
Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)
a.
Masa Awal Peradaban Islam (Periode Nabi dan Khulafaurrasyidin)
Islam dan perempuan merupakan dua variable yang kompleks dan saling
berkaitan. Tentu saja berkaitan karena peran perempuan dalam Islam berperan di
semua lini. Contohnya seperti perempuan berperan sebagai istri dari suami dan
memenuhi semua hak dan kewajiban sebagai istri. Ibu dari anak-anaknya dan
berperan merawat, membesarkan, dan mendidik. Bahkan perempuan tidak berperan
sebagai ibu rumah tangga saja, akan tetapi perempuan juga memiliki kiprah dan
tuntutan peran yang dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungannya. Berikut
beberapa tokoh perempuan dalam Islam yang mempunyai kontribusi perjuangan Islam
dalam berbagai aspek.
1.
Siti
Khadijah Ra.
Siti
Khadijah, adalah tokoh perempuan Islam yang memiliki perjuangan yang luar biasa
terhadap perkembangan Islam. Siti Khadijah telah memberikan dukungan luar biasa
terhadap Rasulullah Saw. tidak hanya dukungan moril sebagai seorang istri dari
Rasul utusan Allah, namun juga ia menafkahkan hartanya dijalan Allah sebagai
saudagar yang kaya raya. Ia juga dikenal sebagai salah satu perempuan yang
memeluk Islam.
2.
Siti
Aisyah Ra.
Siti
Aisyah juga salah satu tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perkembangan
Islam, ia dikenal sebagai perempuan yang cerdas. Kemampuannya dalam menghafal
ribuan hadits membuktikan dedikasi terhadap perkembangan Islam dalam bidang
intelektualitas.
3.
Sumayyah
Sumayyah
dikenal sebagai perempuan yang pertamakali syahid dijalan Allah karena ia dan
suaminya menolak pemerintahan kaum kafir Quraisy untuk meninggalkan Islam.
4.
Nusaibah
Nusaibah
dikenal sebagai perempuan si jago pedang, karena pada saat perang uhud ia
dengan semangat yang berkobar mengayun-ayunkan pedangnya melindungi Rasulullah
Saw. yang sedang berdiri dipuncak bukit Uhud memandang musuh-musuh yang
merangsek maju mengarah dirinya. Ketika Rasulullah Saw. menoleh kearah kanan
beliau melihat ada seorang perempuan mengayun-ayun pedangnya melindungi
dirinya. Dan ketika beliau menoleh kea rah kiri beliau pun melihat kejadian
serupa. Nusaibah ikut berperang bersama suami dan kedua anaknya dengan membawa
empat bejana air. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan pasukan Muslim kocar-kacir
dan musuh mendesak menuju rasulullah sedangkan Rasulullah Saw. berdiri tanpa
perisai. Seorang muslim berlari mundue sambal membawa perisai, maka Rasulullah
Saw berseru kepadanya, “berikanlah perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu
melemparkan perisainya kemudian dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi
Saw.
5.
Khaulah
binti Azur
The Back Rider! Itulah julukan yang disandang oleh Khaulah binti Azur. Seorang
muslimah yang kuat jiwa dan raganya. Sosok tubuhnya yang tinggi langsing dan
tegap. Sejak kecil ia gemar bermain pedangdan tombak dan ia terus berlatih
sampai tiba waktunya menggunakan keterampilan itu untuk membela Islam bersama
para mujahidah lainnya. Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir
Romawi dibawah kepemimpinan panglima perang Khalid bin Walid, diriwayatkan
tibia-tiba muncul sesosok penunggang kuda bberbalut pakaian serba hitam dengan
tangkas memacu kudanya ketengah-tengah medan pertempuran bagai singa lapar yang
siap menerkam angsanya, ia mengibas-ngibaskan pedangnya dalam waktu singkat
menumbangkan tiga orang musuh.
6.
Rufaidah
binti Sa’ad
Sosok Rufaidah
ninti Sa’ad adalah sosok perempuan pertama dalam dunia keperawatan sejak zaman
Rasulullah Saw. Rufaidah adalah dari golongan Anshar, rufaidah mempelajari ilmu
keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai dokter.
Ketika beberapa
peperangan terjadi seperti perang Badr, Uhud, Khandaq dan perang Khaibar,
Rufaudah menjadi seukarelawan yang merawat sahabat-sahabat yang terluka akibat
perang. Beberapa kelompok perempuan dilatihnya untuk kemudian melanjutkan
perjuangannya menjadi perawat pasukan yang terluka ketika perang. Pada saat
perang khaibar, mereka meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk ikut di garis
belakang ppertempuran agar bisa merawat pasukan yang terluka dan Rasulullah
Saw. mengizinkannya. Pada saat damai Rufaidah mendirikan tenda dihalaman masjid
Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Kemudian berkembang dan
berdirilah rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang, dan rasulullah
sendiri yang memerintahkan sahabat yang terluka dirawat olehnya.
7.
Asy’Syaf binti Abdullah
Asy’Syaf biinti
Abdullah dijuluki sebagai guru pertama dalam Islam, karena ia pernah ditunjuk
oleh Rasulullah untuk mengajar baca tulis kepada kaum Muslim.
8.
Ka’biyyah
bintii Sa’ad Al-Aslamiyyah
Ia adalah
seorang dokter perwmpuan pertama yang mendirikan poliklinik bersebelahan dengan
masjid Nabawi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Islam ketika
peperangan pecah. Ia dihadiahi sebuah anak panah oleh Rasulullah Saw.
9.
Ummu
Sa’ad binti Rabbi
Ummu Sa’ad
adalah perempuan yang juga berjasa dalam bidang intelektualitas, para sahabat
diantaranya sering meminta koreksi catatannya dihadapan Ummu Sa’ad, mereka
memohon koreksi apabila ada kesalahan dalam catatannya.
10.
Zainab
binti Ummi Salamah
Zainab binti
Ummi Salamah dilukiskan oleh Ibnu Katsir sebagai salah seorang perempuan yang
paling dalam ilmu agamanya di Madinah.
11.
Nailah
Sicantiik nan
pemberani ini adalah istri dari Utsaman bin Affan. Ia terkenal cantik dan
pandai. Bahkan suaminyapun memujinya “saya tidak menemui seorang wanita yang
lebih sempurna akhlaknya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan
akalku”.
Ketika fitnah
yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hujriyah, Nailah ikut mengangkat
pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh masuk menerobos dan menyerang
dengan pedang pada saat Utsman sedang memegang Mushaf Al-Qur’an, tetesan
darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi “Maka Allah akan
memelihata engkau dari mereka”. Seorang pemberontak lain masuk dengan pedang
terhunus. Nailah berhasil merampas pedang itu, namun si musuh kembali merampas
pedang dan jari-jari nailah terputus oleh sabetan pedang si musuh. Utsaman
syahid karena sabetan pedang pemberontak.
b.
Masa Kekhalifahan Islam
Sosok perempuan yang ikut serta berperan di masa khulafaur rasyidin,
berjasa terhadap perjuangan islam dan memiliki kontribusi yang besar dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain adalah: Aisyah, Al Khunasa dan
Syaikhah shunda.
1) Siti Aisyah (istri Rasulullah
Saw)
Aisyah sering
menyampaikan gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan.
Aisyah juga banyak meriwayatkan hadis. Salah seorang muridnya adalah Urwah bin
Zubair, menyebutkan bahwa Aisyah juga aktif dalam bidang pendalaman keilmuan
yang meliputi kajian hukum, sastra, sejarah.
Aisyah terjun di kancah politik pada masa Utsman bin affan yang
dengan berani menegur kebijakan Utsman (sang khalifah). Pada masa pemerintahan
Ali, Aisyah juga terlibat dalam peperangan, ketika terjadi perpecahan politik
dalam islam, yang dikenal dengan perang Jamal. Dikatakan perang Jamal karena
pada saat itu Aisyah menunggang kuda.
2) Al Khunasa
Nama lengkapnya
adalah Thumadir binti Amru ibn al-syarid as Salamiyah al mudhriyah. Ia berasal
dari keluarga terpandang dan mulia, Al Khunasa mempunyai dua saudara, Muawiyah
dan Sakhr, yang sangat dicintai dan dibanggakannya karena kedua orang ini
dinilai sebagai pemuda Arab yang paling pemberani, tampan dan berperilaku baik.
Al Khunasa terlibat aktif bersama para muslimah lainnya berjuang mengembangkan
islam, dia adlah sosok perempuan yang tegar dan gigih memperjuangkan islam,
juga figur perempuan mulia yang mencintai dan setia terhadap saudaranya, istri
dan ibu yang tegas, selalu membiasakan putranya dengan kesabaran, kebajikan dan
keimanan bahkan mendorong anak-anaknya ke medan perang.
3) Syaikhah Shunda
Beliau mengajar
berbagai disiplin ilmu, mulai dari sastra, statistika sampai puisi.
c.
Masa Kejatuhan kekhalifahan
Setelah Nabi wafat, aktifitas perempuan berangsur-angsur surut, hingga
memuncak pada peristiwa keterlibatan Siti Aisyah (istri Nabi) dalam memimpin
perang unta melawan khalifah Ali bin Abi tahlib, di mana peristiwa itu
kontroversial di kalangan pemikir islam klasik. Ada
satu pendapat yang mengatakan, tindakan itu merupakan ijtihad aisyah sehingga
tidak berdampak polotis apa-apadan ia mendapatkan satu pahala. Ada juga
sebagian kalangan yang mengatakan, peristiwa itu biang perpecahan umat islam,
sehingga menjadi legitimasi terhadap perempuan islam untuk tidak berkiprah di
bidang politik.
Puncak pembatasan terjadi pada masa kekhalifahan daulah islamiyah
dan abbasiyah. Pada dinasti umayyah masa khalifah Al-Walid II, perempuan
pertama kalinya ditempatkan di Harem-harem dan tidak tidak punya andil dalam
keterlibatan publik. Gaung keterlibatan perempuan, pada masa ini hampir tidak
terdengar. Pada akhir kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad ke-13,
Sistem Harem telah tegak kokoh.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh pemikir Islam dalam
kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah tertera dalam surat At
Taubah ayat 71 “ dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai
bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Keikutsertaan
perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat
disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan.
Kepentingan (urusan ) kaum muslim mencakup banyak sisi yang dapat dapat
menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang,
tingkat pendidikannya. Dengan demikian kalimat ini mencakup segala bidang
kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.
Hak-hak politik perempuan tentunya akan terkait dengan hak asasi
manusia secara umum. Hak asasi ini dimiliki tanpa membedakan. Di disi lain Al
Qur’an juga mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah,
melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum
perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya,
dibenarkan sikapnya oleh Nabi ketika memberi jaminan keamanan sementara kepada
orang musyrik (jaminan keamanan merupakan satu aspek bidang politik). Bahkan
istri Nabi sendiri, yakni Aisyah, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin
abi thalib yang ketika menduduki jabatan sebagai kepala negara. Isu terbesar
dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi telah terbunuhnya khalifah
ketiga, yaitu Utsman ra.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang
jamal. Keterlibatan Aisyah ra. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para
pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik
praktis sekalipun.
Keterangan di atas adalah sedikit dari kontribusi perempuan pada
saat kejatuhan khulafaurrasyidin, dan seperti yang kita ketahui, hal tersebut
dilanjutkan oleh kekhalifahan islam berikutnya seperti dinasti umayyah,
abbasiyah, kekaisaran utsmaniyyah, dll. Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari
ini, pemerintah islamdi bawah institusi khilafah islamiyyah pernah dipimpin
oleh 104 khalifah.
d.
Masa Modern
Pada masa
Modern, ada beberapa tokoh perempuan yang berpengaruh dalam bidang membangun
peradaban Islam, diantaranya;
1.
Zainab
Al-Ghazali Al-Zubaili
Zainab dikenal sebagai pelopor aktivis perempuan. Tokoh wanita asal
Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam yang berjuang untuk menyuarakan
persamaan hak kaum perempuan yang saat itu tindakan zalim pemerintahan Mesir
terjadi dimana-mana. Perempuan kelahiran al-bahira pada tahun 1917 M, adalah
keturunan khalifah kedua Islam Umar ibn Khattab. Sejak usia 10 tahun ia telah
memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di muka umum.
Keinginan yang kuat dan tekadnya yang membara membuatnya berani maju untuk
mengenyam pendidikan tinggi yang pada saat itu dianggap tabu. Pada usia 18
tahun ia mendirikan asosiasi wanita muslim untuk mengorganisasi
kegiatan-kegiatan kaum wanita yang sesuai norma-norma Islam dan ditunjukkan untuk
kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga katif di organisasi-organisasi persatuan
kelompok feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923, namun tak
lama ia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebrangan pendapat
mengenaii perjuangan menurut kesetaraan. Zainab banyak dipengaruhi oleh pendiri
Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Bana. Ia memgang teguh pandnagannya bahwa
tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia adalah orang yang kerap lantang
mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada
saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia mengalami hisup yang penuh siksaan
dalam tahanan rezim itu. Zainab wafat dalam usia 88 tahun meninggalkan warisan
berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang
tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalism.
2.
Maryam jamelah
Maryam jamelah adalah seorang Yahudi Amerika. Orang tuanya
merupakan seorang Yahudi tidak taat yang beberapa tahun kemudian memutuskan
hubungan dengan Judaisme, lalu bergabung dalam masyarakat Budaya Etnis (Etnis
Culture Society) dan akhirnya gereja Unitarian. Selain mempelajari Islam secara
formal, Maryam juga membaca literature sejarah bangsa Arab. Dalam literarur
sejarah Maryam menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab,
melainkan justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Kesehatan Maryam
memburuk, ia menjadi lebih suka menyendiri dan akhirnya dimasukkan rumah sakit
jiwa karena shizofrenia antara tahun 1957 dan 1959.
Setelah keluar, Margaret aktif berkecimpung dalam perkumpulan dan
misi Islam di New York serta berkorespondensi dengan pemimpin-pemimpin Islam di
luar negeri, terutama dengan Maulana Abul Ala maududi, pemimpin Jema’ati Islam
Pakistan (Islam Society). Keputusannya untuk secara resmi memeluk Islam dan
korespondensinya dengan Maududi menandai titik balik yang menentukan arah
tunggal hidup dan usahanya.
Pada tanggal 24 Mei 1961, Margaret Marcus (Maryam Jamelah) menjadi
muslim dengan membaca syahadat memakai nama Maryam Jamelah. Ia menganggap
pergantian namanya bukan sebagai penolakan terhadap Judaisme, melainkan lebih
merupakan berpalingnya ke Islam dimana ia menemukan terpenuhinya misi dan wahyu
Ibrahim. Memikirkan pergantian agamanya, ia melihat dirinya meninggalkan
Yudaisme modern yang sekularisme dan materialism modernnya mengungguli
aspek-aspek religiusnya, karena wahyu Islam yang lebih revolusioner dan
universal: “saya tidak memeluk Islam karena kebencian terhadap warisan nenek
moyang atau masyarakat sayya. Itu bukanlah keinginan untuk menolak melainkan
keinginan untuk memenuhi. Bagi saya itu berarti transisi dari sekarat dan picik
menuju kepuasan beragama yang dinamis dan revolusioner dengan supermsi
universalnya. Selama tahun berikutnya, peristiwa-peristiwa dalam hidupnya tampak
menyatu dan menjadi jawaban bagi rasa keterasingan dan kecemasan atas masa
depannya.
Perpindahan agama Maryam Jamelah dan berlanjutnya ketidakmampuan
untuk mendapat pekerjaan dan menyesuaikan diri dengan masyarakat amerika, serta
ayahnya yang mau pension yang berarti hilanggnya sokongan keuangan akhirnya
menggerakannya menerima undangan Maulana Maududi utuk bermigrasi ke Pakistan:
“saya tidak punya keberanian untuk memutus partalian dengan masa lalu saya,
tetapi sekarang keadaan saya disini sudah tidak bisa ditoleransi lagi dan saya
tahu saya tidak akan berfungsi dalam masyarakat ini, sekarang saya yakin bahwa
satu-satunya penyelamatan bagi saya adalah pergi dan tinggal di Negara muslim.”
Dalam keputusan ini ia didukung banyak teman muslimnya di New York dan juga
para pemimpin muslim internasional ternama seperti Maududi, seorang yang
diajaknya berkorespondensi dari tahun 1960 sampai 1962, dan Dr Said Ramadhan,
menantu Hasan al-bana. Maka dimulailah babak baru kehidupan Maryan di Pakistan.
Maryam tiba di Pakistan pada tahun 1962 dan awalnya tinggal dengan
Maulana Maududi dan keluarganya. Ia melihat hari-hari pertamanya sebagai
“periode yang paling penting dan menentukan dalam hidupnya(1962-1964). Selama
waktu ini, setelah masa reaja yang panjang dan tidak lumrah, saya matang dan
menjadi dewasa, tumbuh benar-benar mandiri lepas dari orang tua, mengembangkan
karier menulis, menikah dan akhirnya menjdi seorang ibu.
Pada tahun 1963, ia menikah dengan Muhammad Yusuf Khan, seorang
pekerja penuh di Jamaari Islamiyah Maududi. Ia menjadi isreri kedua dan
memberinya empat anak. Tinggal dengan istri lainnya dengan suaminya dalam
komplek keluarga yang termasuk didalamnya keluarga besar. Maryam jamelah
memulai kariernya sebagai pembela Islam (muslim apologist) yang berbicara pada
dunia Islam maupun Barat. Buku, artikel, dan tinjauannya yang ditulis dalam
Bahasa Inggris tetapi sering diterjemahkan kedalam Bahasa-bahasa muslim,
mengenengahkan interpretasi Islam yang tradisionalis dan reaksi polemic
terhadap barat yang mewakili segmen penting orang-orang Islam dan telah
menemukan banyak pengagum di dunia muslim. Selain itu Maryam juga seorang
editor penerjemah karya Maududi kedalam
Bahasa Inggris.
3.
Amina
Wadud
Amina Wadud
Muhsin adalah seorang perempuan pemikir kontemporer yang dilahirkan di Amerika
pada tahun 1952. Ia seorang guru besar (professor) pada Universitas Common
Wealth, di Richmond, Virginia. Amina mencoba melakukan rekonstruksi metodologis
tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menhadilkan sebuah yang
sensitive gender dan keadilan. Menurut charlez Kurzman penelitian Amina wadud
mengenai perempuan dalam Al-Qur’an yang tertuang dalam qur’an and woman muncul
dalam suatu konteks historis yang erat dengan pengalaman dan pergumulan
perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Karya
Amina Wadud tersebut merupakan bukti kegelisahan intelektualitasnya mengenai
ketidak adilan gender dalam masyarakatnya. Salah satu sebabnya ialah pengarh
ideology doktrin penafsiran Al-Qur’an yang dianggap bias patriarki. Dalam buku
tersebut Amina Wadud mencoba melakukan
dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang sangat bias
dengan patriarki. Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran adalah bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil medidik laki-laki
dan perempuan setara (equal), karena itu, perintah atau petunjuk Islam yang
ermuat daam Al-Qur’an mestinya diinterpretasikan dalam konteks histories yang
spesifik. Dengan kata lain, situasi sosio-historis cultural ketika ayat
Al-Qur’an itu turun harus juga diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar