Minggu, 07 Desember 2014

responding paper topik 5

RESPONDING PAPER TOPIK 5
TOKOH-TOKOH PEREMPUAN DALAM MEMBANGUN PERDABAN ISLAM
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)

a.                  Masa Awal Peradaban Islam (Periode Nabi  dan Khulafaurrasyidin)
Islam dan perempuan merupakan dua variable yang kompleks dan saling berkaitan. Tentu saja berkaitan karena peran perempuan dalam Islam berperan di semua lini. Contohnya seperti perempuan berperan sebagai istri dari suami dan memenuhi semua hak dan kewajiban sebagai istri. Ibu dari anak-anaknya dan berperan merawat, membesarkan, dan mendidik. Bahkan perempuan tidak berperan sebagai ibu rumah tangga saja, akan tetapi perempuan juga memiliki kiprah dan tuntutan peran yang dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungannya. Berikut beberapa tokoh perempuan dalam Islam yang mempunyai kontribusi perjuangan Islam dalam berbagai aspek.
1.      Siti Khadijah Ra.
Siti Khadijah, adalah tokoh perempuan Islam yang memiliki perjuangan yang luar biasa terhadap perkembangan Islam. Siti Khadijah telah memberikan dukungan luar biasa terhadap Rasulullah Saw. tidak hanya dukungan moril sebagai seorang istri dari Rasul utusan Allah, namun juga ia menafkahkan hartanya dijalan Allah sebagai saudagar yang kaya raya. Ia juga dikenal sebagai salah satu perempuan yang memeluk Islam.
2.      Siti Aisyah Ra.
Siti Aisyah juga salah satu tokoh perempuan yang berpengaruh dalam perkembangan Islam, ia dikenal sebagai perempuan yang cerdas. Kemampuannya dalam menghafal ribuan hadits membuktikan dedikasi terhadap perkembangan Islam dalam bidang intelektualitas.
3.      Sumayyah
Sumayyah dikenal sebagai perempuan yang pertamakali syahid dijalan Allah karena ia dan suaminya menolak pemerintahan kaum kafir Quraisy untuk meninggalkan Islam.
4.       Nusaibah
Nusaibah dikenal sebagai perempuan si jago pedang, karena pada saat perang uhud ia dengan semangat yang berkobar mengayun-ayunkan pedangnya melindungi Rasulullah Saw. yang sedang berdiri dipuncak bukit Uhud memandang musuh-musuh yang merangsek maju mengarah dirinya. Ketika Rasulullah Saw. menoleh kearah kanan beliau melihat ada seorang perempuan mengayun-ayun pedangnya melindungi dirinya. Dan ketika beliau menoleh kea rah kiri beliau pun melihat kejadian serupa. Nusaibah ikut berperang bersama suami dan kedua anaknya dengan membawa empat bejana air. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan pasukan Muslim kocar-kacir dan musuh mendesak menuju rasulullah sedangkan Rasulullah Saw. berdiri tanpa perisai. Seorang muslim berlari mundue sambal membawa perisai, maka Rasulullah Saw berseru kepadanya, “berikanlah perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya kemudian dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi Saw.
5.      Khaulah binti Azur
The Back Rider! Itulah julukan yang disandang oleh Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raganya. Sosok tubuhnya yang tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil ia gemar bermain pedangdan tombak dan ia terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilan itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya. Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi dibawah kepemimpinan panglima perang Khalid bin Walid, diriwayatkan tibia-tiba muncul sesosok penunggang kuda bberbalut pakaian serba hitam dengan tangkas memacu kudanya ketengah-tengah medan pertempuran bagai singa lapar yang siap menerkam angsanya, ia mengibas-ngibaskan pedangnya dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
6.      Rufaidah binti Sa’ad
Sosok Rufaidah ninti Sa’ad adalah sosok perempuan pertama dalam dunia keperawatan sejak zaman Rasulullah Saw. Rufaidah adalah dari golongan Anshar, rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai dokter.
Ketika beberapa peperangan terjadi seperti perang Badr, Uhud, Khandaq dan perang Khaibar, Rufaudah menjadi seukarelawan yang merawat sahabat-sahabat yang terluka akibat perang. Beberapa kelompok perempuan dilatihnya untuk kemudian melanjutkan perjuangannya menjadi perawat pasukan yang terluka ketika perang. Pada saat perang khaibar, mereka meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk ikut di garis belakang ppertempuran agar bisa merawat pasukan yang terluka dan Rasulullah Saw. mengizinkannya. Pada saat damai Rufaidah mendirikan tenda dihalaman masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Kemudian berkembang dan berdirilah rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang, dan rasulullah sendiri yang memerintahkan sahabat yang terluka dirawat olehnya.
7.       Asy’Syaf binti Abdullah
Asy’Syaf biinti Abdullah dijuluki sebagai guru pertama dalam Islam, karena ia pernah ditunjuk oleh Rasulullah untuk mengajar baca tulis kepada kaum Muslim.
8.      Ka’biyyah bintii Sa’ad Al-Aslamiyyah
Ia adalah seorang dokter perwmpuan pertama yang mendirikan poliklinik bersebelahan dengan masjid Nabawi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Islam ketika peperangan pecah. Ia dihadiahi sebuah anak panah oleh Rasulullah Saw.
9.      Ummu Sa’ad binti Rabbi
Ummu Sa’ad adalah perempuan yang juga berjasa dalam bidang intelektualitas, para sahabat diantaranya sering meminta koreksi catatannya dihadapan Ummu Sa’ad, mereka memohon koreksi apabila ada kesalahan dalam catatannya.
10.  Zainab binti Ummi Salamah
Zainab binti Ummi Salamah dilukiskan oleh Ibnu Katsir sebagai salah seorang perempuan yang paling dalam ilmu agamanya di Madinah.
11.  Nailah
Sicantiik nan pemberani ini adalah istri dari Utsaman bin Affan. Ia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminyapun memujinya “saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akhlaknya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”.
Ketika fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hujriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh masuk menerobos dan menyerang dengan pedang pada saat Utsman sedang memegang Mushaf Al-Qur’an, tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi “Maka Allah akan memelihata engkau dari mereka”. Seorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merampas pedang itu, namun si musuh kembali merampas pedang dan jari-jari nailah terputus oleh sabetan pedang si musuh. Utsaman syahid karena sabetan pedang pemberontak.
b.                  Masa Kekhalifahan Islam
Sosok perempuan yang ikut serta berperan di masa khulafaur rasyidin, berjasa terhadap perjuangan islam dan memiliki kontribusi yang besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, antara lain adalah: Aisyah, Al Khunasa dan Syaikhah shunda.
1)      Siti Aisyah (istri Rasulullah Saw)
Aisyah sering menyampaikan gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan. Aisyah juga banyak meriwayatkan hadis. Salah seorang muridnya adalah Urwah bin Zubair, menyebutkan bahwa Aisyah juga aktif dalam bidang pendalaman keilmuan yang meliputi kajian hukum, sastra, sejarah.
Aisyah terjun di kancah politik pada masa Utsman bin affan yang dengan berani menegur kebijakan Utsman (sang khalifah). Pada masa pemerintahan Ali, Aisyah juga terlibat dalam peperangan, ketika terjadi perpecahan politik dalam islam, yang dikenal dengan perang Jamal. Dikatakan perang Jamal karena pada saat itu Aisyah menunggang kuda.
2)      Al Khunasa
Nama lengkapnya adalah Thumadir binti Amru ibn al-syarid as Salamiyah al mudhriyah. Ia berasal dari keluarga terpandang dan mulia, Al Khunasa mempunyai dua saudara, Muawiyah dan Sakhr, yang sangat dicintai dan dibanggakannya karena kedua orang ini dinilai sebagai pemuda Arab yang paling pemberani, tampan dan berperilaku baik. Al Khunasa terlibat aktif bersama para muslimah lainnya berjuang mengembangkan islam, dia adlah sosok perempuan yang tegar dan gigih memperjuangkan islam, juga figur perempuan mulia yang mencintai dan setia terhadap saudaranya, istri dan ibu yang tegas, selalu membiasakan putranya dengan kesabaran, kebajikan dan keimanan bahkan mendorong anak-anaknya ke medan perang.
3)      Syaikhah Shunda
Beliau mengajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari sastra, statistika sampai puisi.


c.                   Masa Kejatuhan kekhalifahan
Setelah Nabi wafat, aktifitas perempuan berangsur-angsur surut, hingga memuncak pada peristiwa keterlibatan Siti Aisyah (istri Nabi) dalam memimpin perang unta melawan khalifah Ali bin Abi tahlib, di mana peristiwa itu kontroversial di kalangan pemikir islam klasik. Ada satu pendapat yang mengatakan, tindakan itu merupakan ijtihad aisyah sehingga tidak berdampak polotis apa-apadan ia mendapatkan satu pahala. Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan, peristiwa itu biang perpecahan umat islam, sehingga menjadi legitimasi terhadap perempuan islam untuk tidak berkiprah di bidang politik.
Puncak pembatasan terjadi pada masa kekhalifahan daulah islamiyah dan abbasiyah. Pada dinasti umayyah masa khalifah Al-Walid II, perempuan pertama kalinya ditempatkan di Harem-harem dan tidak tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Gaung keterlibatan perempuan, pada masa ini hampir tidak terdengar. Pada akhir kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad ke-13, Sistem Harem telah tegak kokoh.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah tertera dalam surat At Taubah ayat 71 “ dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan. Kepentingan (urusan ) kaum muslim mencakup banyak sisi yang dapat dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.
Hak-hak politik perempuan tentunya akan terkait dengan hak asasi manusia secara umum. Hak asasi ini dimiliki tanpa membedakan. Di disi lain Al Qur’an juga mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi ketika memberi jaminan keamanan sementara kepada orang musyrik (jaminan keamanan merupakan satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi sendiri, yakni Aisyah, memimpin langsung peperangan melawan Ali bin abi thalib yang ketika menduduki jabatan sebagai kepala negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi telah terbunuhnya khalifah ketiga, yaitu Utsman ra.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang jamal. Keterlibatan Aisyah ra. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Keterangan di atas adalah sedikit dari kontribusi perempuan pada saat kejatuhan khulafaurrasyidin, dan seperti yang kita ketahui, hal tersebut dilanjutkan oleh kekhalifahan islam berikutnya seperti dinasti umayyah, abbasiyah, kekaisaran utsmaniyyah, dll. Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah islamdi bawah institusi khilafah islamiyyah pernah dipimpin oleh 104 khalifah.

d.                  Masa Modern
Pada masa Modern, ada beberapa tokoh perempuan yang berpengaruh dalam bidang membangun peradaban Islam, diantaranya;
1.      Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili
Zainab dikenal sebagai pelopor aktivis perempuan. Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan perempuan Islam yang berjuang untuk menyuarakan persamaan hak kaum perempuan yang saat itu tindakan zalim pemerintahan Mesir terjadi dimana-mana. Perempuan kelahiran al-bahira pada tahun 1917 M, adalah keturunan khalifah kedua Islam Umar ibn Khattab. Sejak usia 10 tahun ia telah memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di muka umum. Keinginan yang kuat dan tekadnya yang membara membuatnya berani maju untuk mengenyam pendidikan tinggi yang pada saat itu dianggap tabu. Pada usia 18 tahun ia mendirikan asosiasi wanita muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum wanita yang sesuai norma-norma Islam dan ditunjukkan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga katif di organisasi-organisasi persatuan kelompok feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923, namun tak lama ia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebrangan pendapat mengenaii perjuangan menurut kesetaraan. Zainab banyak dipengaruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Bana. Ia memgang teguh pandnagannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia adalah orang yang kerap lantang mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia mengalami hisup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu. Zainab wafat dalam usia 88 tahun meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalism.
2.       Maryam jamelah
Maryam jamelah adalah seorang Yahudi Amerika. Orang tuanya merupakan seorang Yahudi tidak taat yang beberapa tahun kemudian memutuskan hubungan dengan Judaisme, lalu bergabung dalam masyarakat Budaya Etnis (Etnis Culture Society) dan akhirnya gereja Unitarian. Selain mempelajari Islam secara formal, Maryam juga membaca literature sejarah bangsa Arab. Dalam literarur sejarah Maryam menemukan bahwa Islam besar dan agung bukan karena bangsa Arab, melainkan justru orang Arab menjadi beradab karena Islam. Kesehatan Maryam memburuk, ia menjadi lebih suka menyendiri dan akhirnya dimasukkan rumah sakit jiwa karena shizofrenia antara tahun 1957 dan 1959.
Setelah keluar, Margaret aktif berkecimpung dalam perkumpulan dan misi Islam di New York serta berkorespondensi dengan pemimpin-pemimpin Islam di luar negeri, terutama dengan Maulana Abul Ala maududi, pemimpin Jema’ati Islam Pakistan (Islam Society). Keputusannya untuk secara resmi memeluk Islam dan korespondensinya dengan Maududi menandai titik balik yang menentukan arah tunggal hidup dan usahanya.

Pada tanggal 24 Mei 1961, Margaret Marcus (Maryam Jamelah) menjadi muslim dengan membaca syahadat memakai nama Maryam Jamelah. Ia menganggap pergantian namanya bukan sebagai penolakan terhadap Judaisme, melainkan lebih merupakan berpalingnya ke Islam dimana ia menemukan terpenuhinya misi dan wahyu Ibrahim. Memikirkan pergantian agamanya, ia melihat dirinya meninggalkan Yudaisme modern yang sekularisme dan materialism modernnya mengungguli aspek-aspek religiusnya, karena wahyu Islam yang lebih revolusioner dan universal: “saya tidak memeluk Islam karena kebencian terhadap warisan nenek moyang atau masyarakat sayya. Itu bukanlah keinginan untuk menolak melainkan keinginan untuk memenuhi. Bagi saya itu berarti transisi dari sekarat dan picik menuju kepuasan beragama yang dinamis dan revolusioner dengan supermsi universalnya. Selama tahun berikutnya, peristiwa-peristiwa dalam hidupnya tampak menyatu dan menjadi jawaban bagi rasa keterasingan dan kecemasan atas masa depannya.
Perpindahan agama Maryam Jamelah dan berlanjutnya ketidakmampuan untuk mendapat pekerjaan dan menyesuaikan diri dengan masyarakat amerika, serta ayahnya yang mau pension yang berarti hilanggnya sokongan keuangan akhirnya menggerakannya menerima undangan Maulana Maududi utuk bermigrasi ke Pakistan: “saya tidak punya keberanian untuk memutus partalian dengan masa lalu saya, tetapi sekarang keadaan saya disini sudah tidak bisa ditoleransi lagi dan saya tahu saya tidak akan berfungsi dalam masyarakat ini, sekarang saya yakin bahwa satu-satunya penyelamatan bagi saya adalah pergi dan tinggal di Negara muslim.” Dalam keputusan ini ia didukung banyak teman muslimnya di New York dan juga para pemimpin muslim internasional ternama seperti Maududi, seorang yang diajaknya berkorespondensi dari tahun 1960 sampai 1962, dan Dr Said Ramadhan, menantu Hasan al-bana. Maka dimulailah babak baru kehidupan Maryan di Pakistan.
Maryam tiba di Pakistan pada tahun 1962 dan awalnya tinggal dengan Maulana Maududi dan keluarganya. Ia melihat hari-hari pertamanya sebagai “periode yang paling penting dan menentukan dalam hidupnya(1962-1964). Selama waktu ini, setelah masa reaja yang panjang dan tidak lumrah, saya matang dan menjadi dewasa, tumbuh benar-benar mandiri lepas dari orang tua, mengembangkan karier menulis, menikah dan akhirnya menjdi seorang ibu.
Pada tahun 1963, ia menikah dengan Muhammad Yusuf Khan, seorang pekerja penuh di Jamaari Islamiyah Maududi. Ia menjadi isreri kedua dan memberinya empat anak. Tinggal dengan istri lainnya dengan suaminya dalam komplek keluarga yang termasuk didalamnya keluarga besar. Maryam jamelah memulai kariernya sebagai pembela Islam (muslim apologist) yang berbicara pada dunia Islam maupun Barat. Buku, artikel, dan tinjauannya yang ditulis dalam Bahasa Inggris tetapi sering diterjemahkan kedalam Bahasa-bahasa muslim, mengenengahkan interpretasi Islam yang tradisionalis dan reaksi polemic terhadap barat yang mewakili segmen penting orang-orang Islam dan telah menemukan banyak pengagum di dunia muslim. Selain itu Maryam juga seorang editor penerjemah karya  Maududi kedalam Bahasa Inggris.
3.      Amina Wadud

Amina Wadud Muhsin adalah seorang perempuan pemikir kontemporer yang dilahirkan di Amerika pada tahun 1952. Ia seorang guru besar (professor) pada Universitas Common Wealth, di Richmond, Virginia. Amina mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menhadilkan sebuah yang sensitive gender dan keadilan. Menurut charlez Kurzman penelitian Amina wadud mengenai perempuan dalam Al-Qur’an yang tertuang dalam qur’an and woman muncul dalam suatu konteks historis yang erat dengan pengalaman dan pergumulan perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Karya Amina Wadud tersebut merupakan bukti kegelisahan intelektualitasnya mengenai ketidak adilan gender dalam masyarakatnya. Salah satu sebabnya ialah pengarh ideology doktrin penafsiran Al-Qur’an yang dianggap bias patriarki. Dalam buku tersebut Amina Wadud  mencoba melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang sangat bias dengan patriarki. Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran adalah bahwa Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil medidik laki-laki dan perempuan setara (equal), karena itu, perintah atau petunjuk Islam yang ermuat daam Al-Qur’an mestinya diinterpretasikan dalam konteks histories yang spesifik. Dengan kata lain, situasi sosio-historis cultural ketika ayat Al-Qur’an itu turun harus juga diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar