Senin, 08 Desember 2014

responding paper topik 8

RESPONDING PAPER TOPIK 8
RELASI GENDER DALAM AGAMA YAHUDI
Oleh:
E. Ova Siti sofwatul Ummah (1112033100049)

a.      Gender dalam Perspektif Yahudi
Perempuan dalam perspektif Yahudi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan. Batshebe sebagai perempuan yang hebat, Deborah sebagai nabi perempuan, Ruth sebagai orang terpandang dan Esther sebagai juru selamat rakyatnya, misalnya, adalah contoh dari beberapa sosok wanita tangguh Yahudi. Selain dianggap sebagai makhluk yang kuat, baik, dan sopan, dalam tradisi yahudi juga ditemukan bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melhirkan kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci. Bahkan di sembunyikan di goa-goa gelap atau di asingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor kalau anaknya laki-laki, sedangkan jika anaknya perempuan maka masa tidak sucinya atau masa kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus menemui pendeta untuk penebusan dosa atasnya. Bahkan dalam Talmud ada doa, “saya berterimakasih pada Mu ya Tuhan, karena tidak menjadikan aku perempuan”.
Para PendetaYahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan Hawa:  "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam berkabung, menjadi budak yang melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian." Walaupun perempuan dinggap sebagai makhluk yang kuat, baik, dan sopan, dalam Yahudi laki-laki mempunyai posisi lebih dominan dibandingkan dengan perempuan, dalam posisi dominan inilah terjadi terciptanya ketidakadilan gender. Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.
Dalam agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertualah yang lebih utama dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan, agama Yahudi poligami di haruskan dan jumlahnya tidak di batasi, karena tidak terdapt larangan dan batasan untuk itu. Sedangkan kedudukan seorang istri dan anak perempuan berdasrkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli suaminya dari bapknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagi anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berha membeli ataupun menjual, semua hrta bendanya milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain mas kawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat. 
Sementara dalm buku Fundamentalism and Women in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharman dan Katherine K. Young, dijelaskan : As we shall see, women’s roles are a profound syimbol of the extent to which Jewish societies accept, or rejeck, modernity and Westernization. (seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah symbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak Modernitas dan Westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapat penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi. Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu  kunci penting untuk memahami peran Fundamentalis, yang berdampak pada kontruksi identitas perempuan Yahudi. Budaya Yahudi, dan kehiduan perempuan Yahudi. Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies. (Ilmuan Sosial Kontemporer mengasumsikn bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis di tentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat). Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terjadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminism berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dn martabat perempuan.
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar, bahwa laki-laki dan wanita adalah ciptaan tuhan, pencipta alm semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita pertama Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal ini penciptaan Adam dan Hawa diuraikan secara rinci di dalam kitab PL, Kejadisn 2:4-3:24. Yang intinya, tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakan kesalhan semua kepad Hawa, “Wanita yang kau berikan kepada saya, dia membri buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya. “Akibat Tuhan berkata kepada Hawa: “Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada saat kamu melahirkan. Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu”.
Kepada adam Tuhan berfirman: “karena kamu mendengarkan ap yang dikatakan istrimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut…saya turunkan kamu ke bumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang ada dibumi sampai kamu mati…”. Para Pendeta Yahudi telah memberikan Sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan Hawa: “kepada wanita Tuhan memberikan Sembilan kutukan dan kematian, beban berupa darh menstruasi, dn darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutup kepala dalam hal berkbung, menjadi budak dan melayani tunnya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian”.
            Hingga saat ini orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo’a mengatakan “Terimakasih kepada Tuhan Raja Alam Semesta Yang tidak menjadikan kami seorang perempuan”
b.      Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan ada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalm hubungan antar satu manusia dengan manusia lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender. Baik bagi kaum laki-laki maupun bagi perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalh sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini sering kali menimbulakn ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalh stereotype, marjinalisasi, diskriminasi. Tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan reaksi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatkan bahwa hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan kelompok yang kalah. Di Amerik Serikat tahun1949 hal ini dianggap lucu ketika dikatakan demikian, apalagi di zamn sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa dan tidak bertindak layaknya seperti kelompok yang kalah. Dia menambahkan bahwa perempuan telah menyelesaikan emansipsinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan “jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Diseluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi  peran wanita”.

Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Women pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender. Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik;
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?” 
Henry Makow dalam tulisannya -Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society- telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.

Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limitdikatakan: Although some may view the Christian Coalition as an extreme example, it represents a much more common tendency in contemporary culture—both within and without the academy—to conceive of biblical literature primarily as moral literature, that is, as literature that provides role models and guidelines for how to live one’s life, socially, sexually, spiritually, and so on. With regard to the book of Esther, this tendency is clearly and poignantly evident in the passage from Sedgwick. And we must not forget that, although it is primarily in non-Jewish interpretive circles that one finds moralistic repudiations of the Jewishness of the text, both Jewish and Christian traditions have used Esther to shore up normative representations of women as objectively beautiful, passive, obedient (Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer  dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu, sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara sosial, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bahwa, meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistik Keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Esther untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai obyektif cantik, pasif, patuh, rela berkorban. Artinya Ester ini memandang perempuan sebagai objek normative yang memiliki karakteristik seperti telah disebutkan diatas, dan ia menyatakan demikian karena berlandaskan apa yang telah tertulis dalam Bible sebagai sumber ajaran moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar