RESPONDING PAPER TOPIK
12 RELASI GENDER DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul
Ummah
(1112033100049)
a.
Status
Perempuan dalam Agama Buddha
Dalam
agama Buddha, konsep keadilan gender secara tersirat dalam kitab Tripitaka.
Didalam Sigalavada Sutta, Sang Gaotama telah memaparkan patokan bagi umat
Buddha untuk melaksanakan pergaulan dengan umat manusia yang berbeda kelompok,
kedudukan dan perannya. Menurut agama Budha, karakteristik semua manusia adalah
sama, baik ketika lahir dan selama masih hidup mereka. umat manusia hadir dalam
dua gender dan edua gender sama-sama manusia. Pesan yang Budha umumkan secara
universal berlaku dan bermanfaat bagi umat manusia sevara keseluruhan.
Kemuliaan
seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari
keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan.
Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan
membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yyang
mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya
setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha
menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan
perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas),
Samadhi (konsentrasi), dan Panna (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau
seksisme dalam ajaran Buddha yang fundamental dan Universal.
Setelah
Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih
rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa
sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan dianggap sebagai karma buruk masa
lampau diabnding dengan kelahiran sebagai laki-laki. Dalam kitab Jataka Pali
(cerita kehidupan Buddha Gaotama saat menjadi Bhodisatawa) Bhodisatawa tidak
pernah lahir sebagai perempuan, padahal sebagai hewan ada dalam cerita
tersebut.
Buddha
menginginkan kaum perempuan terbebas dari penderitaan, janganlah menyerah
terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau menciptakan kondisi bagi kaum
perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan setuju bahwa perempuan mampu
untuk mencapai tingkat arahat. Dalam Winaya Pitaka menjabarkan tentang disiplin
bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
Semua
teks Pali ini merupaka sumber untuk memahami hakikat perempuan dalam tradisi
Theravada, jelas bahwa pada zaman Buddha, ada banyak kasusu perempuan dari
berbagai golongan masyarakat yang menjadi bikhuni dan jelas beberapa dari
mereka meraih tingkatan arahat.
Dalam
ajaran Buddha, hakikat perempuan dan status perempuan selama masa kehidupan
Buddha terdapat dalam Sutra Pali. Selain itu Buddha juga menegaskan bahwa
perempuan juga bisa mencapai tingkat nirwana. Berikut ini wanita-wanita yang
terdapat dalam Sutra Pali:
-
Their kema
dipuji sebagai orang yang paling bijaksana diantara parra bikhuni
-
Ippalavanna
adalah wanita yang paling berwawasan luas.
-
Their Kisagotami
wanita dari kasta rendah yang menjadi anggota Sagha dan mencapai tingkat
Arahat.
-
Their Sona
adalah seorang Ibu yang memiliki kasih yang tidak egois.
-
Patacara seorang
teladan dalam winaya bagi para bikhuni.
Perbedaan
status perempuan yang terjadi dalam dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu
Hinayana dan Mahayana dapat kita lihat dalam fenomena sebagai berikut:
-
Tradisi Mahayana
berpandangan lebih liberal dan modern, sehingga perkembangan aliran ini sangat
pesat, yang menyebabkan banyak terdapat perempuan yang menjadi biksuni seperti
di Negara China, Taiwan, Korea, dan Vietnam.
-
Sedangkan
tradisi Therevada mengalami keterbatasan dalam perkembangan ajaran-ajaran
Buddha, sehingga hanya terdapat sedikit Sangha Biksuni.
Totalitas
sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau
komunittas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri:
menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan
hidup sebagai bikkhuni.
b.
Peran
Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha.
Dalam bidang bermasyarakat, sang Buddha tidak
membeda-bedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran
serta yang adil. Seperti juga laki-laki seorang perempuan juga dapat menjadi
majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khutbah sang Buddha.
Mengacu
pada perkembangan Buddha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan
kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuh kembangkan oleh
sang Buddha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Buddha yang sebagian
adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting
dalam perkembangan agama Buddha.
Dalam
naskah Budhis Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan
sebagai Bhodisatawa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga
menemukan beberapa ketidakjelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam.
Mengacu pada perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan
kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkan oleh sang Budha.
Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah
perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam
perkembangan agama Budha. Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari
kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak
bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Menurut agama Budha, manusia terdiri
laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia dapat
terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam agama Budha tidak dibicarakan sebagai sesuatu yang bermasalah.
Agama budha membimbing umatnya kepada lebih menghargai gender. Dalam Paninivana
Sutta, Sang Budha mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki
jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas hidup yang agung, karenanya
agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya
mempunyai karakter yang tampak berlawanan, padahal justru dari hal inilah
muncul keseimbangan.
c.
Sejarah
Munculnya Kerahiban Perempuan
Sejarah munculnya kerahiban dalam agama
Budha tak bisa terlepas dari ibunda Sidarta Gautama, yaitu Prapajati Gauami.
Lebih dari 2500 tahun yang lalu Budha telah memberikan kedudukan sama bagi
wanita dalam pengabdiannya. Pada zaman Budha organisai Budha di dunia didirikan
oleh Budha, ialah Sangha Bhikkuni, organisasi para rohaniawati wanita yang
telah meninggalkan hidup keduniawian dan mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan
Dharma dan kebajikan. Masa itu wanita masih dianggap rendah dan kedudukan
rohaniawan merupakan titian usaha manusia yang tinggi. Maka usaha Maha majapati
Gautami, ibu asuh Sidarta Gautama bersama 500 wanita yang emnghadap Budha,
bermohon untuk ditahbiskan menjadi Bhikkuni merupakan perjuangan wanita yang
gigih.
Sesudah
Sidarta menjadi Budha, banyak bangsawan mengikuti jejak kesucian menjadi
Bhikku. Sesudah Budha berkhutbah kepada 500 putri bangsawan ditepi sungai
Rohini, para putri bangsawan tersebut ingin ditahbiskan menjadi anggota Sangha.
Banyak yang meminta izin suami mereka, yang kemudian menganjurkan mereka agar
meminta nasihat ibu Suri Prajapati Gautami. Sesudah mendengarkan mereka,
Prajapati gautami memutuskan untuk menemui Buddha diikuti 500 putri bangsawan,
meminta izin untuk ditahbiskan menjadi pengikut dsn mendirikan perkumpulan
Bikkhuni. Semula Buddha menolak permintaan mereka, karena tidak ada tempat
untuk wanita dalam perkumpulan Bikkhu. Untuk kedua kalinya diulang permohonan
tersenut, dan masih juga ditolak. Tetapi puteri yang gigih tak kenal menyerah.
Sewaktu mendengar Buddha telah pergi meninggalkan kota Kapilawastu dan pergi
beberapa mil jauhnya, dipanggilla ke lima ratus pengikutnya dan berbicara
kepada mereka:
“Saudari-saudariku
Buddha belum bersedia menahbiskan kita sewaktu disini dan kini telah pergi.
Marilah kita cukur kepala dan memakai jubbah kuning. Marilah pergi kepada
Buddha dan sekali lagi meminta izin untuk memasuki perserikatan kebikhuan.
Tentu Budha akan kasih dan akan memberikan izin kepada kita.”
Setelah
mereka mencukur rambut dan memakai jubbah kuning, banyak pararaja yang
menyediakan kendaraan untuk mereka. tetapi para putri menolak dan lebih memilih
berjalan kaki membuktikan bahwa mereka siap menjalani hidup yang keras dan
ketat. Walaupun kaki mereka bengkak dan berdarah. Badan mereka baud an berdebu,
mereka tidak pantang menyerah untuk memperjuangkan keinginan mereka menjadi
Bhikkuni. Bhikku Ananda yang terharu kemudian menghadap Budha, ikut
memperjuangkan permohonan:
“
yang mulia Buddha, apakah perempuan dapat pula mempuyai kemampuan menaiki
titian kesucian sebagai Sotapanna, Anagami, dan Arahat bila ia membebaskan diri
dari keduniawian kea rah pembebasan agung Nirvana dibawah disiplin yang
diajarkan Buddha?”.
Jawab
Buddha”
“Bila
Prajapati Gautami bisa menerima peraturan-peraturan, dapatlah ia diakui sebagai
pentuk pentahbisan.”
Untuk bisa ditahbiskan sebagai umat
Budha, perlu menjalani sepuluh sila atau janji. Anggota kaum awam, yang tidak
meninggalkan kehidupan umum, hanya menjalani liam sila pertama.
1.
Tidak membunuh
2.
Tidak mencuri
3.
Tidak melakukan
perbuatan yang senonoh
4.
Tidak berdusta,
berpikir, atau bicara yang tak senonoh
5.
Tidak meminum
minuman keras
6.
Tidak makan
diluar waktu yang ditentukan
7.
Tidak menyanyi
dan menari
8.
Tidak
menggunakan alat-alat kosmetik
9.
Tidak tidur
ditempat yang nyaman
10. Tidak
menerima pemberian berupa emas atau perak.
Sang Buddha sendiri yang menahbiskan
para Bhikku pertama, dengan memberikan ijin bagi mereka untuk meninggalkan
rumah mereka dan bergabung dalam penyebaran ajarannya.
Ketika para Bhikku mengelilingi negeri,
mereka menahbiskan banyak kandidat dengan mencukur rambut mereka, mengenakan
pakaian kuning yang khas, dan mendeklarasikan tiga permata agama Buddha.
1.
Da Dharma
2.
Aku berlindung
kepada Buddha
3.
Aku berlindung
kepada Sangha (komunitas para Bhikku).
Sang Buddha mendorong peminat untuk meninggalkan
rumah dan peran Brahman mereka yang tradisional itu dalam rangka mengabdi
kepada kehidupan masa mendatang untuk mencari kebenaran pribadi.
d.
Perempuan
dalam Persfektif Aliran-Aliran Agama Budha
Sang Buddha
sudah memberikan petunjuk kepada seluruh manusia bahwa wanita dan laki-laki
adalah sama derajatnya. Sang Buddha hanya menilai seseorang dari perbuatan
baiknya bukan dari jenis kelamin. Dimasa Buddha sudah terbentuk komunitas
Sangha wanita yang dipimpin oleh Prajapati Gautami kemudian diikuti oleh 500
puteri bangsawan. Mereka sebagai
Bhikkuni walaupun tubuh dan badan mereka tersiksa. Mereka juga bersedia
melakukan aturan-aturan yang ketat demi tercapainya Nirvana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar