Minggu, 07 Desember 2014

responding paper topik 12

RESPONDING PAPER TOPIK 12 RELASI GENDER  DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah
(1112033100049)
a.      Status Perempuan dalam  Agama Buddha
Dalam agama Buddha, konsep keadilan gender secara tersirat dalam kitab Tripitaka. Didalam Sigalavada Sutta, Sang Gaotama telah memaparkan patokan bagi umat Buddha untuk melaksanakan pergaulan dengan umat manusia yang berbeda kelompok, kedudukan dan perannya. Menurut agama Budha, karakteristik semua manusia adalah sama, baik ketika lahir dan selama masih hidup mereka. umat manusia hadir dalam dua gender dan edua gender sama-sama manusia. Pesan yang Budha umumkan secara universal berlaku dan bermanfaat bagi umat manusia sevara keseluruhan.
Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yyang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Panna (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ajaran Buddha yang fundamental dan Universal.
Setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan dianggap sebagai karma buruk masa lampau diabnding dengan kelahiran sebagai laki-laki. Dalam kitab Jataka Pali (cerita kehidupan Buddha Gaotama saat menjadi Bhodisatawa) Bhodisatawa tidak pernah lahir sebagai perempuan, padahal sebagai hewan ada dalam cerita tersebut.
Buddha menginginkan kaum perempuan terbebas dari penderitaan, janganlah menyerah terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau menciptakan kondisi bagi kaum perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan setuju bahwa perempuan mampu untuk mencapai tingkat arahat. Dalam Winaya Pitaka menjabarkan tentang disiplin bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
Semua teks Pali ini merupaka sumber untuk memahami hakikat perempuan dalam tradisi Theravada, jelas bahwa pada zaman Buddha, ada banyak kasusu perempuan dari berbagai golongan masyarakat yang menjadi bikhuni dan jelas beberapa dari mereka meraih tingkatan arahat.
Dalam ajaran Buddha, hakikat perempuan dan status perempuan selama masa kehidupan Buddha terdapat dalam Sutra Pali. Selain itu Buddha juga menegaskan bahwa perempuan juga bisa mencapai tingkat nirwana. Berikut ini wanita-wanita yang terdapat dalam Sutra Pali:
-          Their kema dipuji sebagai orang yang paling bijaksana diantara parra bikhuni
-          Ippalavanna adalah wanita yang paling berwawasan luas.
-          Their Kisagotami wanita dari kasta rendah yang menjadi anggota Sagha dan mencapai tingkat Arahat.
-          Their Sona adalah seorang Ibu yang memiliki kasih yang tidak egois.
-          Patacara seorang teladan dalam winaya bagi para bikhuni.
Perbedaan status perempuan yang terjadi dalam dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Hinayana dan Mahayana dapat kita lihat dalam fenomena sebagai berikut:
-          Tradisi Mahayana berpandangan lebih liberal dan modern, sehingga perkembangan aliran ini sangat pesat, yang menyebabkan banyak terdapat perempuan yang menjadi biksuni seperti di Negara China, Taiwan, Korea, dan Vietnam.
-          Sedangkan tradisi Therevada mengalami keterbatasan dalam perkembangan ajaran-ajaran Buddha, sehingga hanya terdapat sedikit Sangha Biksuni.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunittas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bikkhuni. 
b.      Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha.
Dalam bidang bermasyarakat, sang Buddha tidak membeda-bedakan peran serta laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai peran serta yang adil. Seperti juga laki-laki seorang perempuan juga dapat menjadi majikan, atasan atau guru (Brahmana) sesuai dengan khutbah sang Buddha.
Mengacu pada perkembangan Buddha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuh kembangkan oleh sang Buddha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Buddha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Buddha.
            Dalam naskah Budhis Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan sebagai Bhodisatawa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga menemukan beberapa ketidakjelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam. Mengacu pada perkembangan Budha Dharma 2555 tahun yang lalu, pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah diperjuangkan dan ditumbuhkan oleh sang Budha. Hal ini dapat dikaji dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan pula bahwa perempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha. Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Menurut agama Budha, manusia terdiri laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di atas bumi ini, dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan dalam agama Budha tidak dibicarakan sebagai sesuatu yang bermasalah. Agama budha membimbing umatnya kepada lebih menghargai gender. Dalam Paninivana Sutta, Sang Budha mengatakan, seluruh umat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Budha. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas hidup yang agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya mempunyai karakter yang tampak berlawanan, padahal justru dari hal inilah muncul keseimbangan.
c.       Sejarah Munculnya Kerahiban Perempuan
Sejarah munculnya kerahiban dalam agama Budha tak bisa terlepas dari ibunda Sidarta Gautama, yaitu Prapajati Gauami. Lebih dari 2500 tahun yang lalu Budha telah memberikan kedudukan sama bagi wanita dalam pengabdiannya. Pada zaman Budha organisai Budha di dunia didirikan oleh Budha, ialah Sangha Bhikkuni, organisasi para rohaniawati wanita yang telah meninggalkan hidup keduniawian dan mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan Dharma dan kebajikan. Masa itu wanita masih dianggap rendah dan kedudukan rohaniawan merupakan titian usaha manusia yang tinggi. Maka usaha Maha majapati Gautami, ibu asuh Sidarta Gautama bersama 500 wanita yang emnghadap Budha, bermohon untuk ditahbiskan menjadi Bhikkuni merupakan perjuangan wanita yang gigih.
Sesudah Sidarta menjadi Budha, banyak bangsawan mengikuti jejak kesucian menjadi Bhikku. Sesudah Budha berkhutbah kepada 500 putri bangsawan ditepi sungai Rohini, para putri bangsawan tersebut ingin ditahbiskan menjadi anggota Sangha. Banyak yang meminta izin suami mereka, yang kemudian menganjurkan mereka agar meminta nasihat ibu Suri Prajapati Gautami. Sesudah mendengarkan mereka, Prajapati gautami memutuskan untuk menemui Buddha diikuti 500 putri bangsawan, meminta izin untuk ditahbiskan menjadi pengikut dsn mendirikan perkumpulan Bikkhuni. Semula Buddha menolak permintaan mereka, karena tidak ada tempat untuk wanita dalam perkumpulan Bikkhu. Untuk kedua kalinya diulang permohonan tersenut, dan masih juga ditolak. Tetapi puteri yang gigih tak kenal menyerah. Sewaktu mendengar Buddha telah pergi meninggalkan kota Kapilawastu dan pergi beberapa mil jauhnya, dipanggilla ke lima ratus pengikutnya dan berbicara kepada mereka:
“Saudari-saudariku Buddha belum bersedia menahbiskan kita sewaktu disini dan kini telah pergi. Marilah kita cukur kepala dan memakai jubbah kuning. Marilah pergi kepada Buddha dan sekali lagi meminta izin untuk memasuki perserikatan kebikhuan. Tentu Budha akan kasih dan akan memberikan izin kepada kita.”
Setelah mereka mencukur rambut dan memakai jubbah kuning, banyak pararaja yang menyediakan kendaraan untuk mereka. tetapi para putri menolak dan lebih memilih berjalan kaki membuktikan bahwa mereka siap menjalani hidup yang keras dan ketat. Walaupun kaki mereka bengkak dan berdarah. Badan mereka baud an berdebu, mereka tidak pantang menyerah untuk memperjuangkan keinginan mereka menjadi Bhikkuni. Bhikku Ananda yang terharu kemudian menghadap Budha, ikut memperjuangkan permohonan:
“ yang mulia Buddha, apakah perempuan dapat pula mempuyai kemampuan menaiki titian kesucian sebagai Sotapanna, Anagami, dan Arahat bila ia membebaskan diri dari keduniawian kea rah pembebasan agung Nirvana dibawah disiplin yang diajarkan Buddha?”.
Jawab Buddha”
“Bila Prajapati Gautami bisa menerima peraturan-peraturan, dapatlah ia diakui sebagai pentuk pentahbisan.”
            Untuk bisa ditahbiskan sebagai umat Budha, perlu menjalani sepuluh sila atau janji. Anggota kaum awam, yang tidak meninggalkan kehidupan umum, hanya menjalani liam sila pertama.
1.      Tidak membunuh
2.      Tidak mencuri
3.      Tidak melakukan perbuatan yang senonoh
4.      Tidak berdusta, berpikir, atau bicara yang tak senonoh
5.      Tidak meminum minuman keras
6.      Tidak makan diluar waktu yang ditentukan
7.      Tidak menyanyi dan menari
8.      Tidak menggunakan alat-alat kosmetik
9.      Tidak tidur ditempat yang nyaman
10.  Tidak menerima pemberian berupa emas atau perak.
Sang Buddha sendiri yang menahbiskan para Bhikku pertama, dengan memberikan ijin bagi mereka untuk meninggalkan rumah mereka dan bergabung dalam penyebaran ajarannya.
Ketika para Bhikku mengelilingi negeri, mereka menahbiskan banyak kandidat dengan mencukur rambut mereka, mengenakan pakaian kuning yang khas, dan mendeklarasikan tiga permata agama Buddha.
1.      Da Dharma
2.      Aku berlindung kepada Buddha
3.      Aku berlindung kepada Sangha (komunitas para Bhikku).
Sang Buddha mendorong peminat untuk meninggalkan rumah dan peran Brahman mereka yang tradisional itu dalam rangka mengabdi kepada kehidupan masa mendatang untuk mencari kebenaran pribadi.
d.      Perempuan dalam Persfektif Aliran-Aliran Agama Budha

Sang Buddha sudah memberikan petunjuk kepada seluruh manusia bahwa wanita dan laki-laki adalah sama derajatnya. Sang Buddha hanya menilai seseorang dari perbuatan baiknya bukan dari jenis kelamin. Dimasa Buddha sudah terbentuk komunitas Sangha wanita yang dipimpin oleh Prajapati Gautami kemudian diikuti oleh 500 puteri bangsawan. Mereka sebagai  Bhikkuni walaupun tubuh dan badan mereka tersiksa. Mereka juga bersedia melakukan aturan-aturan yang ketat demi tercapainya Nirvana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar