Minggu, 07 Desember 2014

RESPONDING PAPER TOPIK 3
 PETA GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA
Oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)
A.    Latar Belakang Timbulnya Gerakan Perempuan Indonesia
Sejarah timbulnya gerakan perempuan di Indonesia, ialah bermula dari kebijakan-kebijakan colonial atau kaum penjajah yang tidak hanya merampas kekayaan alam dari bumi Pertiwi, namun juga merampas kebebasan dari masing-masing individu khususnya perempuan.
Gerakan perempuan di Indonesia memiliki kesamaan dengan gerakan perempuan di Negara-negara yang pernah dijajah oleh negara barat. Gerakan ini muncul karena kecemasan-kecemasan para perempuan yang ingin mengalami perubahan. Sehingga keinginan tersebut terorganisir dan pada akhirnya menjadi sebuah gerakan yang massive. Pada dasarnya, perempuan-perempuan yang ingin merubah hidupnya ialah para perempuan yang merasa terlalu terkurung dalam kebodohan. Memang perempuan mengenyam pendidikan, tapi hanya sebatas pendidikan dasar   keterampilan rumah tangga. Ditambah lagi, perempuan yang selalu dikurung didalam rumah, karena pada zaman sebelum timbulnya gerakan perempuan, satatus perempuan yang sudah menjadi ‘ibu’  tidak diberi kebebasan untuk keluar lingkungan rumah dan berinteraksi serta bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sedangkan, kaum laki-laki menjadi tuan dan bebas untuk bersosialisasi dan berperan apapun dalam masyarakat. Dominansi laki-laki sebagai penguasa pun memicu lahirnya gerakan perempuan ini. Dalam artian, perempuan seolah-olah tidak boleh, bahkan dilarang untuk menjdi seorang pemimpin. Dengan latar pendidikan yang rendah, ppantas saja  perempuan selalu dianggap tidak mampu untuk memimpin. Jika perempuan-permpuan juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan seperti para laki-laki, maka tentunya, perempuan juga mampu dan bahkan lebih baik kepemimpinanya diabanding  laki-laki.
Dari hal tersebut diatas, timbul gerakan perempuan Indonesia yang berharap dan menginginkan keadaan yang lebih baik. Kesempatan dan peran yang sma dengan laki-laki. Tidak melulu dipandang makhluk rendah pendidikan dan makhluk yang hanya bisa bersembunyi dibalik laki-laki.
B.     Masa Penjajahan Belanda
Pada mulanya, gerakan wanita, didasari atas keprihatinan seorang R.A Kartini yang kecewa karena ia hanya disekolahkan 12 tahun. Kualitas pendidikan wanita juga sngant memperihatinkan, sehingga ia merasa perlu untuk merintis sebuah sekolah untuk wanita dan anak-anak disekitarnya berlokasi di teras rumahnya. Dengan pendidikan, wanita mendapat pengajaran agar mampu hidup mandiri dan terrhormat. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi kepala sekolah di Kautamaan Istri pada tahun 1904 M.
Pendidikan terhadap wanita memberikan dampak yang positif, karena wanita menjadi lebih peka terhadap lingkungan dan persoalan-persoalan disekitarnya. Sehingga timbul kesadaran bahwa untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran dari para waita ini dibutuhkan sebuah wadah untuk menampungnya. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama yang lebih luas lagi sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.
R.A Kartini,  adalah sebagai pelopor gerakan wanita di Indonesia, selanjutnya lahir kartini-kartini lain dan mendirikan perkumpulan wanita atau bahkan organisasi wanita yang berperan aktif dibidang sosial dan budaya. Organisai-organisasi yang lahir sebelum kemerdekaan diantaranya seperti Putri Merdika yang lahir atas usaha Budi Utomo pada tahun 1912. Selanjutnya, Kautamaan Istri yang lahir disekirar daerah Parahiyangan; Tasikmalaya (1913), Cianjur dan Sumedang (1916), Ciamis (1917) Cicurug (1918). Sementara di Magelang, lahir sebuah organisasi yang melatih kecakapan wanita khususnya dibidang keterampilan rumah tangga yaitu Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918),  Wanito Hadi di Jeporo (1915), Aisyiyah (1917), Sarikat Kaum Ibu Sumatera (1920), dan lainnya.
Organisasi wanita sebelum masa kemerdekaan berjuang untuk mencapai kesetaraan antara waita dan laki-laki khususnya di bidang pendidikan. Karena para laki-laki selalu menjadi dominasi di ruang public dan merajai wanita-wanita. Sedangkan wanita yang minim pendidikan dan melulu berperan di ranah domestic.
Gerakan-gerakan wanita setelah tahun 1920 semakin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi politik lainnya. Jumlah organisasi wanita semakin banyak dan setiap organisasi politik mempunyai bagian organnisasi wanita seperti Wanudyo Utomo  dari Sarikat Islam.
Pada periode ini, gerakan wanita focus pada persoalan hak-hak wanita, kebebasan kaum wanita untuk menghapuskan pernikahan paksa, pernikahan dini, perbudakan terhadap kaum wanita.
Selanjutnya, pada tahun 1930-an, hampir seluruh wanita Indonesia tidak dapat membaca. Maka pada sekitar tahun ini, gerakan-gerakan wanita berfokus pada pemberantasan buta huruf terhadap wanita-wanita Indonesia.
C.    Masa Penjajahan Jepang
Pergerakan wanita Indonesia tidak dapat bergerak bebas pada periode penjajahan Jepang. Satu-satunya organisasi wanita yang diizinkan di periode penjajahan jepang adalah Fujinkai (perkumpulan perempuan) organisasi ini bertujuan memberantas buta huruf, menjalankan dapur umum dan ikut serta dalam pekerjaan sosial. Melalui organisasi Fujinkai, wanita-wanita Indonesia dari kalangan Atas dan Menengah dapat bergaul lebih dekat dengan kaum wanita kelas bawah. Mereka bersatu berjuang membantu para pejuang kemerdekaan di garis terdepan.
Kaum wanita bersatu mengorganisir diri membentuk klinik berjalan, menjalankan dapur umum dan membentuk tim perawat. Perkumpulan wanita yang popular pada masa ini adalah Perwani (persatuan Wanita Indonesia).
Kongres Perempuan I
Pembukaan kongres perempuan I dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1928. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kongres Perempuan I dilaksanakan di Klaten dekat Yogyakarta dari tanggal 15 sampai 17 Desember 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfa Santoso dan Nyonya Kartowiyono. Pertemuan selanjutnya di selenggarakan di Solo dari tanggal 24-26 Februari 1946 memutuskan untuk membuat suatu organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang terdiri dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari Protestan dan seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai wewenang dalam membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan didalamnya.
 Kongres Perempuan II
Kongres Perempuan II dilaksanakan di Madiun pada 14-16 Juni 1946 yang memutuskan bahwa mereka akan membantu para tentara untuk mengusir Belanda. Mereka akan mementuk dapur umum dan berjuang di garis terdepan.
Kongres Perempuan III, IV, dan V
Kongres perempuan III dilaksanakan di Magelang dipimpin oleh Ny. Soenaryo Mangoen Poespita. Kongres permpuan ke IV diselenggarakan di Solo pada 26-28 Agustus 1948 dibawah pimpinan Ny. Soepeni Poedjobentoro setuju mendasarkan aktivitas mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.
Kongres perempuan V dilaksanakan ditengah-tengah keadaan genting menyerang kota Yogyakarta pada 26 Agustus sampai 2 Sempember 1949 menghasilkan lima keputusan diantaranya:
-          Bidang hukum: kesetaraan hokum bagi seluruh rakyat baik laki-laki atau perempuan.
-          Bidang sosial: kesehatan masyarakat, bantuan kantor konsultasi, poliklinik dan institusi bagi permpuan yang diabaikan keuluarganya.
-          Bidang ekonomi: koperasi msyarakat harus dibentuk.
-          Bidang pendidikan: memberantas buta huruf dan memberikan beasiswa terhadap anak perempuan.
Setelah gerakan wanita berjalan 25 tahun, maka tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu sekaligus memperingati tanggal 22 Desember 1928 sebagai hari pembukaan kongres perempuan. Masa Orde Lama (1945-1965)
D. Masa Orde Lama
1. Periode 1945-1950
Pada periode ini muncul organisasi-organisasi wanita yang mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan kemerdekaan negara. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa lahir sebuah organisasi bernama Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI), di seluruh tanah air untuk menggantikan Fujinkai.
2. Periode 1950-1959
Periode ini ditandai dengan terbentuknya organisasi-organisasi wanita menurut profesi, yang berarti bahwa kaum wanita yang bekerja di berbagai bidang keahlian mulai merasakan adanya suatu identitas sehingga mereka mengadakan persatuan. Seperti Ikatan Bidan Indonesia (1951), Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (22 Mei 1951), Perhimpunan Wanita Universitas Indonesia (1957) dan masih banyak lagi pada periode ini organisasi-organisasi perempuan yang muncul baik dalam bidang politik maupun social.
3. Periode 1959-1965
Pada periode ini perhatian dialihkan kepada penyelenggaraan kehidupan di masa damai di berbagai bidang, yaitu politik, kebudayaan, kesejahteraan keluarga, pendidikan dan pembangunan masyarakat pada umumnya, misalnya organisasi Wanita Departemen Luar Negeri (Carakawati, 1959), PersatuanWanita Bank Bumi Daya (1959), Serikat Sekerja Kementerian Agama Bagian Wanita (1963) dan lain-lain.

E.     Masa Orde Baru
Untuk program pemberdayaan perempuan, pemerintah Orde Baru memakai konsep Woment in Development (perempuan dalam pembangunan), tetapi dinilai kurang berhasil. Sebab, perempuan belum menjadi pelaku atau subyek dalam berbagai bidang pembangunan, mereka masih diperlakukan sebagai obyek, sebagai sasaran pembangunan. Misalnya, dalam program keluarga berencana yang sangat gencar dilakukan pada masa Orde Baru. Perempuan diposisikan sebagai obyek sehingga akseptor hampir seluruhnya perempuan. Padahal, urusan keluarga seharusnya menjadi kepeduliaan bersama laki-laki dan perempuan.
Sebagai revisi terhadap konsep Woment in Development, mulai tahun 1990-an mengadopsi konsep-konsep Gender and Development (Gender dan pembangunan) sebagai paradigma pembangunan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama dalam seluruh proses dan tahapan pembangunan. Konsep Gender and Development mengasumsikan gender sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, seluruh bangunan konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki bisa dapat diubah. Peran tradisional yang tadinya dianggap sebagai mutlak milik kaum perempuan, sesungguhnya bisa dapat diubah menjadi peran laki-laki dan harus melibatkan tanggung-jawab laki-laki. Artinya, isu-isu tradisional yang selalu dilabelkan kepada posisi dan fungsi perempuan dalam masyarakat tidak lagi semata-mata menjadi pemikiran atau kepedulian perempuan, melainkan menjadi pemikiran dan kepedulian laki-laki.

F.     Masa Reformasi – sampai sekarang

Pada masa reformasi, dengan sistem pemerintahan yang semakin demokratis ini dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, justru ada penurunan dibanding masa-masa akhir rezim Orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan —pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar