RESPONDING PAPER TOPIK 3
PETA GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA
Oleh:
E.
Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)
A.
Latar
Belakang Timbulnya Gerakan Perempuan Indonesia
Sejarah timbulnya gerakan perempuan di
Indonesia, ialah bermula dari kebijakan-kebijakan colonial atau kaum penjajah
yang tidak hanya merampas kekayaan alam dari bumi Pertiwi, namun juga merampas
kebebasan dari masing-masing individu khususnya perempuan.
Gerakan perempuan di Indonesia memiliki
kesamaan dengan gerakan perempuan di Negara-negara yang pernah dijajah oleh
negara barat. Gerakan ini muncul karena kecemasan-kecemasan para perempuan yang
ingin mengalami perubahan. Sehingga keinginan tersebut terorganisir dan pada
akhirnya menjadi sebuah gerakan yang massive. Pada dasarnya, perempuan-perempuan
yang ingin merubah hidupnya ialah para perempuan yang merasa terlalu terkurung
dalam kebodohan. Memang perempuan mengenyam pendidikan, tapi hanya sebatas
pendidikan dasar keterampilan rumah
tangga. Ditambah lagi, perempuan yang selalu dikurung didalam rumah, karena
pada zaman sebelum timbulnya gerakan perempuan, satatus perempuan yang sudah
menjadi ‘ibu’ tidak diberi kebebasan
untuk keluar lingkungan rumah dan berinteraksi serta bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar. Sedangkan, kaum laki-laki menjadi tuan dan bebas untuk
bersosialisasi dan berperan apapun dalam masyarakat. Dominansi laki-laki
sebagai penguasa pun memicu lahirnya gerakan perempuan ini. Dalam artian,
perempuan seolah-olah tidak boleh, bahkan dilarang untuk menjdi seorang pemimpin.
Dengan latar pendidikan yang rendah, ppantas saja perempuan selalu dianggap tidak mampu untuk
memimpin. Jika perempuan-permpuan juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan
seperti para laki-laki, maka tentunya, perempuan juga mampu dan bahkan lebih
baik kepemimpinanya diabanding
laki-laki.
Dari hal tersebut diatas, timbul gerakan
perempuan Indonesia yang berharap dan menginginkan keadaan yang lebih baik.
Kesempatan dan peran yang sma dengan laki-laki. Tidak melulu dipandang makhluk
rendah pendidikan dan makhluk yang hanya bisa bersembunyi dibalik laki-laki.
B.
Masa Penjajahan Belanda
Pada mulanya, gerakan wanita, didasari
atas keprihatinan seorang R.A Kartini yang kecewa karena ia hanya disekolahkan
12 tahun. Kualitas pendidikan wanita juga sngant memperihatinkan, sehingga ia
merasa perlu untuk merintis sebuah sekolah untuk wanita dan anak-anak
disekitarnya berlokasi di teras rumahnya. Dengan pendidikan, wanita mendapat
pengajaran agar mampu hidup mandiri dan terrhormat. Perjuangannya diikuti oleh
Dewi Sartika yang menjadi kepala sekolah di Kautamaan Istri pada tahun 1904 M.
Pendidikan terhadap wanita memberikan
dampak yang positif, karena wanita menjadi lebih peka terhadap lingkungan dan
persoalan-persoalan disekitarnya. Sehingga timbul kesadaran bahwa untuk
mengumpulkan pemikiran-pemikiran dari para waita ini dibutuhkan sebuah wadah
untuk menampungnya. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama yang lebih luas lagi
sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.
R.A Kartini, adalah sebagai pelopor gerakan wanita di
Indonesia, selanjutnya lahir kartini-kartini lain dan mendirikan perkumpulan
wanita atau bahkan organisasi wanita yang berperan aktif dibidang sosial dan
budaya. Organisai-organisasi yang lahir sebelum kemerdekaan diantaranya seperti
Putri Merdika yang lahir atas usaha Budi Utomo pada tahun 1912. Selanjutnya,
Kautamaan Istri yang lahir disekirar daerah Parahiyangan; Tasikmalaya (1913),
Cianjur dan Sumedang (1916), Ciamis (1917) Cicurug (1918). Sementara di
Magelang, lahir sebuah organisasi yang melatih kecakapan wanita khususnya
dibidang keterampilan rumah tangga yaitu Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Susilo
di Pemalang (1918), Wanito Hadi di
Jeporo (1915), Aisyiyah (1917), Sarikat Kaum Ibu Sumatera (1920), dan lainnya.
Organisasi wanita sebelum masa
kemerdekaan berjuang untuk mencapai kesetaraan antara waita dan laki-laki
khususnya di bidang pendidikan. Karena para laki-laki selalu menjadi dominasi
di ruang public dan merajai wanita-wanita. Sedangkan wanita yang minim pendidikan
dan melulu berperan di ranah domestic.
Gerakan-gerakan wanita setelah tahun
1920 semakin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan
tujuan politik dilakukan bersama-sama organisasi politik lainnya. Jumlah
organisasi wanita semakin banyak dan setiap organisasi politik mempunyai bagian
organnisasi wanita seperti Wanudyo Utomo
dari Sarikat Islam.
Pada periode ini, gerakan wanita focus
pada persoalan hak-hak wanita, kebebasan kaum wanita untuk menghapuskan
pernikahan paksa, pernikahan dini, perbudakan terhadap kaum wanita.
Selanjutnya, pada tahun 1930-an, hampir
seluruh wanita Indonesia tidak dapat membaca. Maka pada sekitar tahun ini,
gerakan-gerakan wanita berfokus pada pemberantasan buta huruf terhadap
wanita-wanita Indonesia.
C.
Masa
Penjajahan Jepang
Pergerakan wanita Indonesia tidak dapat bergerak
bebas pada periode penjajahan Jepang. Satu-satunya organisasi wanita yang
diizinkan di periode penjajahan jepang adalah Fujinkai (perkumpulan perempuan)
organisasi ini bertujuan memberantas buta huruf, menjalankan dapur umum dan
ikut serta dalam pekerjaan sosial. Melalui organisasi Fujinkai, wanita-wanita
Indonesia dari kalangan Atas dan Menengah dapat bergaul lebih dekat dengan kaum
wanita kelas bawah. Mereka bersatu berjuang membantu para pejuang kemerdekaan
di garis terdepan.
Kaum wanita bersatu mengorganisir diri membentuk
klinik berjalan, menjalankan dapur umum dan membentuk tim perawat. Perkumpulan
wanita yang popular pada masa ini adalah Perwani (persatuan Wanita Indonesia).
Kongres Perempuan I
Pembukaan
kongres perempuan I dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1928. Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kongres Perempuan I dilaksanakan di Klaten
dekat Yogyakarta dari tanggal 15 sampai 17 Desember 1945 yang diketuai oleh
nyonya Maria Ulfa Santoso dan Nyonya Kartowiyono. Pertemuan selanjutnya di
selenggarakan di Solo dari tanggal 24-26 Februari 1946 memutuskan untuk membuat
suatu organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang
terdiri dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia dari Protestan
dan seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai wewenang dalam
membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan didalamnya.
Kongres
Perempuan II
Kongres
Perempuan II dilaksanakan di Madiun pada 14-16 Juni 1946 yang memutuskan bahwa
mereka akan membantu para tentara untuk mengusir Belanda. Mereka akan mementuk
dapur umum dan berjuang di garis terdepan.
Kongres Perempuan III, IV, dan V
Kongres
perempuan III dilaksanakan di Magelang dipimpin oleh Ny. Soenaryo Mangoen
Poespita. Kongres permpuan ke IV diselenggarakan di Solo pada 26-28 Agustus
1948 dibawah pimpinan Ny. Soepeni Poedjobentoro setuju mendasarkan aktivitas
mereka pada lima prinsip dasar Pancasila.
Kongres
perempuan V dilaksanakan ditengah-tengah keadaan genting menyerang kota
Yogyakarta pada 26 Agustus sampai 2 Sempember 1949 menghasilkan lima keputusan
diantaranya:
-
Bidang hukum:
kesetaraan hokum bagi seluruh rakyat baik laki-laki atau perempuan.
-
Bidang sosial:
kesehatan masyarakat, bantuan kantor konsultasi, poliklinik dan institusi bagi
permpuan yang diabaikan keuluarganya.
-
Bidang ekonomi:
koperasi msyarakat harus dibentuk.
-
Bidang
pendidikan: memberantas buta huruf dan memberikan beasiswa terhadap anak
perempuan.
Setelah
gerakan wanita berjalan 25 tahun, maka tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai
hari Ibu sekaligus memperingati tanggal 22 Desember 1928 sebagai hari pembukaan
kongres perempuan. Masa Orde Lama
(1945-1965)
D. Masa Orde
Lama
1. Periode
1945-1950
Pada periode ini muncul organisasi-organisasi
wanita yang mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan
kemerdekaan negara. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa lahir sebuah
organisasi bernama Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI), di seluruh tanah air
untuk menggantikan Fujinkai.
2. Periode
1950-1959
Periode ini ditandai dengan terbentuknya
organisasi-organisasi wanita menurut profesi, yang berarti bahwa kaum wanita
yang bekerja di berbagai bidang keahlian mulai merasakan adanya suatu identitas
sehingga mereka mengadakan persatuan. Seperti Ikatan Bidan Indonesia (1951),
Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (22 Mei 1951), Perhimpunan Wanita Universitas
Indonesia (1957) dan masih banyak lagi pada periode ini organisasi-organisasi
perempuan yang muncul baik dalam bidang politik maupun social.
3. Periode
1959-1965
Pada periode ini perhatian dialihkan kepada
penyelenggaraan kehidupan di masa damai di berbagai bidang, yaitu politik,
kebudayaan, kesejahteraan keluarga, pendidikan dan pembangunan masyarakat pada
umumnya, misalnya organisasi Wanita Departemen Luar Negeri (Carakawati, 1959),
PersatuanWanita Bank Bumi Daya (1959), Serikat Sekerja Kementerian Agama Bagian
Wanita (1963) dan lain-lain.
E.
Masa Orde Baru
Untuk program pemberdayaan perempuan,
pemerintah Orde Baru memakai konsep Woment in Development (perempuan dalam
pembangunan), tetapi dinilai kurang berhasil. Sebab, perempuan belum menjadi
pelaku atau subyek dalam berbagai bidang pembangunan, mereka masih diperlakukan
sebagai obyek, sebagai sasaran pembangunan. Misalnya, dalam program keluarga
berencana yang sangat gencar dilakukan pada masa Orde Baru. Perempuan
diposisikan sebagai obyek sehingga akseptor hampir seluruhnya perempuan.
Padahal, urusan keluarga seharusnya menjadi kepeduliaan bersama laki-laki dan
perempuan.
Sebagai revisi terhadap konsep Woment in
Development, mulai tahun 1990-an mengadopsi konsep-konsep Gender and
Development (Gender dan pembangunan) sebagai paradigma pembangunan mengenai
pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama dalam
seluruh proses dan tahapan pembangunan. Konsep Gender and Development
mengasumsikan gender sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, seluruh
bangunan konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki bisa
dapat diubah. Peran tradisional yang tadinya dianggap sebagai mutlak milik kaum
perempuan, sesungguhnya bisa dapat diubah menjadi peran laki-laki dan harus
melibatkan tanggung-jawab laki-laki. Artinya, isu-isu tradisional yang selalu
dilabelkan kepada posisi dan fungsi perempuan dalam masyarakat tidak lagi
semata-mata menjadi pemikiran atau kepedulian perempuan, melainkan menjadi
pemikiran dan kepedulian laki-laki.
F.
Masa Reformasi – sampai sekarang
Pada masa reformasi, dengan sistem pemerintahan
yang semakin demokratis ini dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan
perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di
Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan
di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik
di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, justru ada penurunan dibanding
masa-masa akhir rezim Orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu
semakin diperhitungkan —pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi
kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin
saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar