Sabtu, 13 Desember 2014

revisi makalah Pengertian dan Sejarah

FeminismeTugas Relasi Gender Dalam Agama-Agama
PENGERTIAN DAN SEJARAH FEMINISME


Hasil gambar untuk logo uin jakarta
       





Nama :
Fauzan Aziz Maulana
Nim :
1112032100063

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Jurusan perbandingan agama
Tahun periode 2014-2015



BAB I
PENDAHULUAN

Meninjau ke belakang bagaimana latar belakang sejarah penidnasan dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. Pada kenyataannya yang namanya hak tidak diakui yakni  hak mereka sebagai manusia yang ingin sejajar dengan laki-laki. Secara histori pergerakan feminnisme berkembang secara bertahap.
Awal  munculnya gerakan ini di dataran Eropa. Namun sayangnya di tempat munculnya gerakan ini tidak mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hingga pada akhirnya feminisme tiba di tanah Amerika, yang kemudian terjadi perkembangan  yang luar biasa. Mulailah adanya pengkuan terhadap hak kaum perempuan,  mereka mendapatkan hak pilih, serta ikut berperan dalam pendidikan.
Sebagai manusia haruslah timbul suatu kesadaan akan pentingnya persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Timbulya kesadaran bahwa kita mempunyai hak yang sama. Dan dengan mengamati perjuangan pergerakan feminisme pada zaman dulu, bermula dari suatu kesadaran akan ketidakadilan.
Dalam makalah ini akan membahas hal yang menjadi persoalan  tentang pengertian apa itu yang dimaksud dengan feminisme, bagaimana pergerakan feminisme yang ada di Indonesia, serta ragam teori-teori aliran feminisme.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN FEMINISME
Secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan.Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal tentang perempuan.
Secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan.Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal tentang perempuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme diartikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjukkan suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality).Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas.Feminisme sebenarnya merupakan konsep yang muncul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social change), teori-teori pembangunan, kesadaran politik perempuan dan gerakan pembebasan kaum perempuan, termasuk pemikiran kembali institusi keluarga dalam konteks masyarakat modern dewasa ini.
Feminism adalah gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.[1][1] Tujuan feminisme untuk memajukan secara politis dan ekonomi dalam pengertian khusus pemilihan suatu sifat kewanitaan yang agak menonjol.[2][2] Istilah feminisme munurut pandangan Wolf adalah feminisme sebagai suatu hal yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istiah “feminism” bagi Wolf harus diartian dengan “menjadimanusia”. Pada peahaman yang demikain maka perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri.
Sedangkan Budianto mengartikan feminisme suatu kritik ideologu terhadap cara pandang yang mengabaikan masalah ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Istilah feminisme dalam penelitian berarti kesadaran akan adanya ketiakadilan jender yang menimpa perempuan., baik dalam keluarga atau pun masyarakat. Feminisme identik dengan  emansipasi, dimana emansipasi ialah perjuangan untuk pembebasan dari perbudakan yang sesungguhya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang pada intinya arti feminisme dan emansipasi dalam ilmu penelitian kajiannya lebih luas.Dengan demikian emansipasi tidak mutlak sebagai persamaan hak perempuan.
Jika emansipasi dikaitkan dengan perempuan emansipasi lebih cenderung pada penekanan partisipasi tanpa mempersoalkan jender.Permpuan dalam dalam pandangan femininsme mempunyai aktivitas tersendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut serta dalam menuntut hak sebagai nanusia secara utuh.[3][3]
B.     SEJARAH FEMINISME
Sebelum mengenal lebih dalam tentang sejarah feminism, lebih baiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian dari feminism tersebut. Menunrt  Mansour  Faqih dalam  Heldianto(2004  :31)disebutkan feminisme adalah suatu gerakan yang berangkat dari surnsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi,serta ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian  tersebut. Atau dalam bahasa saya feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan haknya agar setara dan tidak dianggap sebelah mata oleh kaum laki-laki.
Sejarah gerakan feminisme terbagi menjadi dua gelombang, yang dalam masing-masing gelombang tersebut memiliki perkembangan yang pesat. Berikut ini saya sajikan penjelasan lengkap tentang sejarah dari gelombang pertama maupun gelombang kedua.
           
A.     Gelombang pertama
Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women (1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang pertama.
Memang gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu (abad 18) karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara universal perempuan atau feminine merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam masyarakat patriaki.

Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik, hak-hak kaum perempuan biasanya lebih inferior ketimbang apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis di abad ke-18 dimana perempuan sudah mulai berani menempatkan diri mereka seperti laki-laki yang sering berada di luar rumah
Selain itu, suasana tersebut diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan jemaat pun hanya dapat dijabati oleh pria. Banyak khotbah-khotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada suami.
Maka, dari latar belakang demikian, di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan Politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Tahun 1792 Mary Wolllstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka memberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini dinikmati oleh kaum laki-laki.

B.     Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara Eropa maka lahirlah gerakan Feminisme gelombang kedua pada tahun 1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Feminisme liberal gelombang kedua dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang BulGgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekontruksionis, Derrida. Dalam the laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American Feminist, dia menolak essensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih spesifik banyak feminis- individualis kulit putih dan meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi proses universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosialis, agama, ras dan budaya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”dimana semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme yang masih terdapat lubang hitam, yaitu tidak adanya representasi perempuan perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah masih mempertahankan posisi budak sebagai pengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai penderita yang sama sekali tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Pejuang tanah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki daripada perempuan. Terbukti kebangkitan semua Negara - negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalamai puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama.
Gerakan feminisme di Indonesia muncul sekitar abad 18-19 M. Tokoh feminisme di Indonesia abad ke-19 R.A. Kartini karena dipengaruhi oleh politik etis, sadar akan kaumnya masih terbelakang dan terkukung dalam budaya feodalis. Ia lahir di Jepara tahun 1870, ia merupakan anak ke-2 dari bupati Jepara. Bermula dari kebiasaannya menulis. Sering kali Ia menulis  sebuah surat yang berisikan amarah yang selama ini mengengkang kebebasannya dan menghalangi emansipasi rakyat jawa, kaum perempuan khususnya. Inti dari gerakan Kartini ialah untuk pengarahan, pengajaran agar anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan  Selain Kartini pada generasi berikutnya muncul pahlawan emansipasi lainnya seperti  Dewi Sartika berasal dari Priangan Jawa Barat, Rohana Kudus Sumatera Barat.[4][6]
Semakin lama tumbuhlah kesadaran akan emansipasi kaum perempuan. Akhirnya dibentuk sebuah wadah dalam bentuk organisasi. Organisasi dibentuk guna kepentingan kaum perempuan untuk memperjuangkan perempuan dalam perkawinan mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pengatur dan pengontrol dalam rumah tangga. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memperluas  lapangan pekerjan, memperbaiki pendididkan dan mepertinggi kecakapan. Namun sayangnya oganisasi pada masa itu yang di nilai bertentangan dengan orde baru dibubarkan. Selanjutnya Soeharto menciptakan organisasi yag berbasis “ibuisme” dan pada 1 Oktober 1965 di mulailah rezim pemerintahan orde baru.
Pada abad ke 20 muncullah organisasi perempuan secara formal. Seperti Putri Mardika tahun 1912 di Jakarta.  Organisasi ini dibentuk bertujuan untuk memajukan pendidikan bagi perempuan serta berusaha membiasakan perempuan untuk tampil di depan umum dengan tanpa rasa takut. Kemudian muncul organisasi perempuan di Tasik 1913, Sumedang dan Cianjur 1916, Ciamis 1917.. Organisasi ini di bentuk bertujuan menyediakan sekolah khusus bagi perempuan yang bernama Kartini di Jakarta, kemudian didirikan lagi di Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan, Indramayu dan Rembang. Namun sekolah ini kebanyakan diikuti oleh para kaum bangsawan.
Organisasi perempuan yang bergaris agama muncul pada tahun 1920. Di Yogyakarta ada Aisyiyah sebuah organisasi perempaun dibentuk dalam rangka pemberharuan Muhamdiyah yang bediri tahun 1917. Dan juga pada thun 1925 berdiri Serikat Putri Islam.
Munculnya kesadaran politik ditandai dengan adanya kongres wanita tanggal 22-23 desember 1928 di Yogyakarta. Kongres perempuan ini diadakan oleh organisasi-organisasi perempuan antara lain Wanita Utama. Puteri Indonesia, Wanita Katholik, Wanita Muljo, Aisyiyah, Serikat Isteri Buruh Indonesia, Jong Java, Wanita Taman Siswa. Yang menghasiklan keputusan bahwa kesamaan derajat akan tercapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. Tahun 1932 organisasi Isteri Sedar di mana organisasi ini tidak hanya terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi yang radikal. Karena menyimpang dari kaedah agama.















PENUTUP
Kesimpulan
 Pada intinya feminisme berakar dari sebuah kesadran yang timbul sebagai akibat dari penindasan yang dialami kuam perempuan. Mulai dari sebuah perjuangan menuntut akan hak yang seharusnya mereka terima, yakni di perlakukan secara kodrati sebagai wanita.
Keperacayaan pada zaman dulu yang memenadang bahwa seorang laki-laki yang berkedudukan lebih tiggi dari perempuan bebas melakukan intimidasi sekarang mulai terhapuskan. Dengan adanya feminisme kaum wanita lebih terangkat harkat dan martabat mereka. Garakan feminisme memberikan sebuah pengaruh besar pada kemajuan wanita. Wanita sekarang mempunyai hak yang sama degan laki-laki dalam berbagai bidang, pendidikan, ekonomi dan juga status sosial mereka  lebih diakui.
DAFTAR PUSTAKA

·         Yamani, Mai, Feminisme dan islam, Bandung, Penerbit Nuansa
·         Jamal, Muhammad Ahmad, Problemaika muslimah di era globalisasi,Jakarta, pustaka mantiq.



[1] W.J.S. Poerardaminta.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Hal 281
 [2] James Drever. Kamus Psikologi.



[3] Adip Sofia, S.Sium. aplikasi Kritikan Sastra Feminisme.hal 13
[4][6] Hikmah Diniah. Erwani Bukan PKI. Hal 4

Kamis, 11 Desember 2014



MAKALAH
TEORI-TEORI FEMINISME
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Relasi Gender dalam Agama-agama
Dosen pengampu: Siti Nadroh
Disusun oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)




 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr.Wb
Dengan menyebut asma’ Allah yang maha bijaksana, yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah serta karunia yang tidak terhitung nilainya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini  sampai akhir. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada kekasih Allah, panutan Alam termulya yakni Rasulullah Muhammad SAW. serta keluarganya, dan sahabatnya.
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada dosen yang telah membimbing kami dalam mempelajari mata kuliah ini.
            Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, bahkan jauh dari kata sempurna, namun kesalahan dan kekeliruan merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindari. Oleh sebab itu penulis menghargai kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran bagi penulis dan bagi semua yang membacanya.

Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.


Penyusun







DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ……………………….…………………………i
DAFTAR ISI …………...………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………1
A.    Latar belakang ………………………………...……………………1
B.     Rumusan masalah …………………………….…………………….2
BAB II PEMBAHASAN …………………………...…………………...
Teori-teori Feminisme ………………………..……………………….....3
BAB III PENUTUP ……………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sebuah definisi umum menyatakan bahwa feminism adalah sebuah kepercayaan bahwa perempuan semata-mata karena mereka adalah perempuan diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya. Dalam pola patriarkal, perempuan menjadi sebuah hal yang bukan laki-laki (atau citra yang tidak diinginkan laki-laki); dimana laki-laki dianggap kuat, perempuan lemah; laki-laki dianggap lebih rasional dan mereka emosional; laki-laki dianggap aktif, perempuan pasif; dan sebagainya. Dengan dasar pemikiran yang  menyejajarkan mereka dengan gambaran-gambaran negative, perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama untuk masuk dalam budaya yang menjadi perhatian public maupun dunia yang mencerminkan budaya. Singkatnya, feminism mencoba untuk mengubah situasi ini.
Karena itu feminisme dianggap sebagai suatu bentuk politik yang bertujuan untuk mengintervensi dan mengubah kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal inilah maka salah satu tokoh feminisme menawarkan definisi sementara tentang feminisme, yaitu ‘berbagai macam teori social yang menjabarkan hubungan antara jenis kelamin dalam masyarakat dan perbedaan antara pengalaman-pengalaman yang didalami oleh laki-laki dan perempuan’ teori yang merupakan praktik politik Feminisme juga dipandang sebagai pendekatan terhadap kehidupan social, filsafat dan etika yang berusaha mengoreksi bias-bias yang mengarah pada kedudukan perempuan atau peremehan pengalaman perempuan dan suara mereka dalam diskusi serius yang menentukan. Secara politis, feminisme juga dipandang sebagai gerakan social, politik, dan kebudayaan dalam upaya mencapai hak-hak dan kedudukan yang sama dalam semua suasana kehidupan, atau, lebih radikal lagi untuk membangun tatanan baru dimana laki-laki tidak lagi patokan melawan kesamaan dan secara normal terukur.
A.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
a.       Apa yang dimaksud dengan teori feminism?
b.      Sebutkan tiga gelombang besar feminism dan masalah yang diangkat didalamnya!
B.     Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai teori feminism dari tiga gelombang besar feminisme























 BAB II
PEMBAHASAN
TEORI- TEORI FEMINISME
Sebelum jauh membahas tentang teori-teori feminism, maka akan dibahas terlebih dahulu perkembangan teori feminism dalam rangka memudahkan pemetaan teori-teori feminism, terdapat tiga gelombang besar kelompok feminism. Ketiga gelombang besar teori feminism ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang mengikuti sejarah perkembangan manusia. Feminism awal dimulai sejak 1800an merupakan representasi gelombang feminis pertama. Ini merupakan landasan awal dari pergerakan-pergerakan perempuan yang kelihatannya mereka lebih menyibukkan diri sebagai aktivis pergerakan perempuan. Kemudian pada gelombang kedua, tepatnya muncul dan berkembang pada awal-awal tahun 1960an, ada kegairahan dari mereka untuk mempertanyakan representasi gambaran perempuan dalam segala sesuatu yang feminine. Pada gelombang ini muncul refleksi tentang persoalan-persoalan perempuan, dan sebagai turunannya lahir teori-teori yang menyusun mengenai kesetaraan perempuan. Semantara itu pada gelombang ketiga, teori-teori yang muncul ini mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari sana kemudian lahir teori-teori feminism yang lebih plural. Sebut saja misalnya feminism post modernism, postcolonial, multicultural dan global. Selanjutnya, teori feminism adalah secara sederhana ialah teori sosial yang menjabarkan hakikat perempuan dari segala aspeknya, baik itu posisi perempuan di masyarakat, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
1.      Gelombang Pertama Feminisme[1]
Feminism awal dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminism yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789), yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir seperti Mary Wollsctonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka semua ini bisa dibilang ada dibalik lahirnya deklarasi Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls. Namun sebetulnya, sebagaimana tercatat dalam sejarah sejarah peregerakan-pergerakan yang lebih terdahulu, tersebut nama suster Juana Ines, seorang penyair dan pendidik yang lahir pada tahun 1651. Ia merupakan perempuan pada jamannya yang sadar memilih untuk tidak menikah dan memiliki anak agar dapat mengorbankan seluruh hidupnya untuk belajar menulis puisi. Puisi-puisinya yang lahir pada abad ke-17 ini telah menggambarkan ketidakadilan yang dialami perempuan atas nama cinta. Melalui puisi-puisinya ia mengkritik secara tajam masyarakatnya yang tidak memberikan hak pendidikan yang sama untuk perempuan. Selanjutnya pada abad ke-18 sistem feudal menguasai masyarakat Eropa dengan ciri umum yakni system kerajaan. Raja dan keturunan raja serta pangeran memiliki sebagian besar tanah yang ada. Sementara masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani bekerja pada tanah-tanah itu. Pada saat itu peremouan dan laki-laki bekerja bersama-sama dalam menopang kehidupan mereka sehari-hari. Pada saat ini, isu tentang ketidakadilan perempuan bisa dibilang blm ada, namun tercatat dalam sejarah saat itu sebanyak 6000 perempuan-perempuan kelas menengah bawah yang bekerja sebagai tukang cuci, penjahit baju, pekerja domestic, dan sebagainya, berdemonstrasi pada bulan Oktober 1789, saat ketika para anggota dewan terhormat parlemen membahas rencana konstitusi Perancis yang baru. Para perempuan berbondong-bondong mendatangi Balai Kota menuntut turunnya harga roti. Tidak lama berselang saat industrialisasi berkembang di Eropa, lahir kelas-lelas sosial baru yang salah satunya yang menonjol adalah munculnya kelas menengah perkotaan. Pada jaman ini, segala kemungkinan yang berkaitan dengan semangat, penemuan dan ide-ide pembaruan terbuka lebar termasuk didalamnya diskusi-diskusi soal kebebasan. Di Inggris seorang perempuan bernama Mary Wollstonecraft (1759-1797), membuka sekolah khusus untuk perempuan di Newington Green, London bagian utara. Pada tahun 1793 para perempuan yang tergabung dalam kelompok Jacobins (perempuan yang memakai celana bergaris merah-putih) menuntut hak perempuan untuk bisa bercerai dengan suaminya. Pergerakan demi pergerakan terjadi hingga pada puncaknya pada tahun 1960an, ketika berlangsung Konferensi Komisi Persamaan Hak Kesempata bekerja (Equal Employment Opportunity Commission). Pada suatu malam, ketika konferensi tersebut sedang berlangsung, para peserta khususnya perempuan merasa gerah dengan berjalannya acara. Mereka merasa tidak diberi ruang bagi isu-isu dan pemikiran tentang perempuan, pada akhirnya mereka berkumpul dikamar hotel seorang feminis yang ernama Betty Friedan. Akhirnya mereka sepakat untuk membentuk sebuah organisai dengan bendera NOW(National Organization for Women). Sebagai langkah pertama kelompok ini kemudian membanjiri jalan-jalan berdemonstrasi mengecam perlakuan diskriminasi yang mereka alami ditempat-tempat kerja. Mereka juga membombardir Washington dengan telegram-telegram yang menuntut penghentian diskriminasi seks disetiap bidang kehidupan. New York Times juga digugat karena telah mensegregasikan iklan-iklan pekerjaan tertentu yang sesuai untuk perempuan dan untuk laki-laki. Sebagai contoh pekrjaan sekretaris lebih cocok untuk perempuan sementara mekanik lebih pas untuk laki-laki.
Pergerakan perempuan di tahun 1960an dengan cepat mejadi landasan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminism ini adalah lfeminisme liberal, feminism radikal dan feminism Marxis/Sosialis.
1.1 Feminisme Liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.[2]
Sebagai konsekuensinya, alirn liberalism menekankan individu untuk mempraktekkan otonomi dirinya yang mengisi serta memenuhi dirinya. “hak” bagi kaum liberal harus diprioritaskan daripada “kebaikan” dalam system hak individu ini terdapat kerangka kerja dimana setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan menurut individu itu sendiri meskipun dengan satu catatan bahwa pilihan tersebut tidak boleh merugikan orang lain.
·         Perkembangan Historis Pemikiran Feminis Liberal Abad ke-18: Pendidikan yang Sama untuk Perempuan.
Zillah Einstein dalam bukunya The Tradican Future of Liberal Feminism, menulis bahwa Marry Wollstonecraft (1759-1799) banyak menulis tentang posisi ekonomi dan sosial peremouan Eropa yang tidak menguntungkan . sampai pada abad ke 18, pekerjaan yang bersifat produktif, yakni pekerjaan yang mendatangkan uang keluarga dilakukan diseputar keluarga baik oleh perempuan maupun laki-laki. Namun perkembangan selanjurnya ketika insustrialisasi berkembang dan pekerjaan diginring dari rumah menuju pabrik, maka perempuan perempuan pada jaman ini kebnyakan dirumahkan dan mulai ditinggalkan. Kebanyakan dari mereka adalah isteri-isteri para pengusaha yang mapan sehingga para suami juga tidak perlu lagi mencari tambahan masukan dari para istri melalui pekerjaannya dan pada saat itu pula tidak sulit untuk mencari asisten rumah tangga. Sebagai akibatnya, kalangan perempuan kelas menengah tersebut tidak prosuktif, baik diluar maupun di dalam rumah.
Bila kita membaca karya Mary Wollstonecraft yang terkenal, A Vindication of the Right of Woman, maka disana terungkap bahwa perempuan-perempuan kelas menengah tersebut dikenal sebagai perempuan borjuis laksana “burung dalam sangkar” karena menjadi perempuan identic dengan dua arah kehidupan yaitu mereka harus mengorbankan kesehatan, kebebeasan dan kemandirian. Disisi lain juga mereka harus berbangga dengan kemajuan-kemajuan yang bukan dihasilkan oleh dirinya sendiri tetapi dihasilkan oleh suami-suami mereka. mereka tidak keluar rumah karena mereka takut kulitnya terbakar dan mereka sering terkena hangguan kesehatan karena janrang berolahraga.
Wollstonecraft sangat menghargai kemampuan rasio, kelihatannya sangat embenci novel karya Jean Jacques Rousseau, yang berjudul Emile. Novel ini merupakan sebuah karya klasik filsafat pendidikan. Didalamnya Rousseau sering menggunakan kata-kata “laki-laki yang rasional” dan “perempuan yang emosional” Rousseau berpendapat bahwa laki-laki harus diberi pendidikan nilai-nilai keberanian, keadilan, ketabahan,dan sebaliknya perempuan harus diberikan pendidikan nilai-nilai kesabaran, kepatuhan, periang, dan fleksibilitas.ia selanjutnya menggambarkan Emile mendapat pendidikan pelajaran humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alamiah. dengan harapan bahwa Emile akan menjadi seorang laki-laki dan yang rasioanl, bermoral, percaya diri, dan bertanggungjawab. Sebaliknya Sophie diberikan pelajran seni, music, puisi serta keterampilan rumah dengan harapan ia akan berkembang menjadi perempuan yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan.
Wollstonecraft setuju dengan proyeksi pendidikan yang diberikan kepada Emile, tapi ia tidak setuju dengan pendidikan yang diberikan kepada Sophi. Menurunya Sophi akan menjadi patner yang kurang baik bagi Emile, justru ia akan menjadi penghancur. Maka jalan keluarnya ialah memberikan proyeksi pendidikan yang sama terhadap keduanya. Selanjutnya, Wollstonecraft bermaksud menyampaikan sebuah pesan, bahwa ia ingin perempuan menjadi manusia selayaknya menjadi dirinya snediri atau menjadi seseorang. Perempuan bukan merupakan apa yang Kant katakana sebagai ‘alat’ untuk mencapai kebahhagiaan orang lain akan tetapi perempuan adalah ‘hasil akhir’ itu sendiri, seorang agen rasional yang mempunyai kemampuan dan kehendak sendiri.[3]
1.2  Feminisme Radikal
Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.[4]
Feminism radikal didasarkan pada keyakinan sentral:
Perempuan memiliki nilai positif sebagai perempuan, keyakinan yang berlawanan dengann apa yang mereka klaim sebagai perendahan secara universal terhadap perempuan.
Bahwa perempuan dimanapun berada selalu tertindad, tertidan secara kejam oleh system patriarki.[5]
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Berikut ini adalah gerakan yang diperjuangkan oleh para feminism radikal:
·         Pergerakan Kesehatan Perempuan
Pekerjaan yang penting bagi kalangan feminis radikal adalah memperjuangkan isu-isu kesehatan. Mereka berkeyakinan bahwa persoalan kesehatan perempuan dikontrol oleh laki-laki. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengontrol seksualitas perempuan. Pada tahun 1960, pergerakan kesehatan perempuan melihat kemungkinan menangani kesehatan perempuan dari kacamata perempuan. Mereka mulai merevisi kebijakan-kebijakan terhadap kesehatan perempuan misalnya dengan menganggap penting pelayanan kesehatan yang baik bagi perempuan, ketidak tergantungan pada teknologi-teknologi tinggi, penekana biaya, serta tidak merekomendasikan atau bahkan menolak obat-obatan yang justru membahayakan perempuan.
Kalangan feminis radikal mempelopori argumentasi aborsi dan pengunaan alat kontarsepsi yang aman. “Hak untuk memilih” adalah slogan yang dilontarkan untuk isu aborsi. Hak bagi setiap perempuan untuk menentukan apak ia ingin mempunyai anak atau tidak. Keputusan tersebut menurut mereka harus selalu berada di tangan perempuanyang memiliki badannya sendiri, dan bukan ditangan dokter, hakim, atau rohaniawan.
·         Tubuh Perempuan Obyek Pertama Penindasan
Hal lain yang gigih diperjuangkan oleh kalangan feminis radikal adalah mempermasalahkan dan bahkan mengecam kkeras tindakan kekrasan laki-laki terhadap perempuan. Kelompok ini menunjukan bahwa kekrasan terhadap perempuan yang selama ini begitu melekat pada budaya patriarchal sehingga tidak mengherankan jika semua itu dianggap hal yang wajar dan sah-sah saja. Perkosaan, kekerasan domestic, pornografi dan pelecehan seksual terjadi pada perempuan-perempuan nakal atau perempuan yang memang sengaja mengundang tindakan perlakuan tidak senonoh pada mereka sendiri. Pesan yang ingin disampaikan disini adalah bahwa bila perempuan ini bertingkah laku baik dan sopan serta patuh, tentu mereka tidak akan mengalami kekerasan. 
1.3  Feminisme Marxis dan Sosialis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan kekerasan terhadap perempuan dapat terhapuskan.[6]
Proyek teoretis feminisme sosialis mengembangkan tiga tujuan: (1) untuk melakukan kritik atas penindasan berbeda namun saling terkait yang dilakukan oleh patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang pengalaman perempuan, (2) mengembangkan metode eksplisit dan tepat untuk melakukan analisis social dan pemahaman yang luas tentang materialism historos, dan (3) memasukan pemahaman tentang signifikansi gagasan kedalam analisis materialis tentang determinasi kehidupan manusia.
Dua aliran feminism ini, sebenarnya mempunyai banyak persamaan satu sama lain. Namun ada satu hal yang membuat kedua tradisi ini memiliki perbedaan. Feminism sosialis lebih menekankan penindasan gender dissmping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara feminism marxis, persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan.
Bagi feminism marxis, peremuan kelas borjuis (kels menengah keatas) tidak akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar (kelas buruh). Kalangan feminism marxis mengajak kita untuk mengetahui bahwa penindasan terhadap perempuan yang terjadi selam ini bukan disebabkan oleh perbuatan kesengajaan individu atau institusi yang merugikan perempuan. Atas dasar itu, tidak mengherankan jika mereka tidak percaya mengenai konsep hokum dan kebijaksanaan yang sensitive gendes seperti selama ini diyakini oleh kalangan feminis radikal. Menurut kalangan feminism marxis, penindasan perempuam terjadi melalui produk politik, sosiall dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai system kapitalisme.[7]
Berikut ini adalah hal-hal esensial yang dibahas dalam Feminisme Marxis dan Sosialis:
·         Konsep Manusia
Didalam konsep liberalism, manusia digambarkan sebagai ‘ada’ yang berbeda dari binatang. Manusia adalah makhluk berpikir rasional, memakai Bahasa dan mempunyai symbol-simbol keagamaan, seni, dan ilmu pengetahuan. Manusiapun mempunyai pola karakteristik kompetitif dan bertendensi untuk menonjolkan diri. Kaum marxis menolak teori ini. Mereka lebih menkankan pada gambaran manusia sebagai makhluk yang menjadikan dirinya sendiri. Manusia didefinisikan melalui karyanya, lewat produktivitasnya. Ini terlihat misalnya, ketika mereka bertani, berburu  atau bekerja di pabrik-pabrik.
·         Ekonomi
Sistem ekonomi modern, menurut Marx adalah system dimana terjadi pertentangan antara kaum proletariat yang dieksploitasikan dan kaum borjuis yang disebut kelas kapitalis (kelas pemilik modal). Kelas pemilik modal adalah kelas yang dewasa ini mengontrol kehidupan ekonomi di berbagai Negara, khususnya Negara-negara berkembang. Bagi Marx, kaum borjuis ini semakin serakah mengembangkan kekuasaannya dan semakin seringmenindas kaum proletariat yang kondisinya semakin dirugikan.
·         Alienasi Perempuan
Teori Marx tentang kelas dan kesadaran membawa kita pada teorinya yang lain, yaitu teori alienasi perempuan. Pada awalnya kata tersebut dipakai oleh Hegel untuk menggambarkan keterasingan manusia dari alam dan ini dapat diatasi dengan pengetahuan diri. Oleh Marx istilah tersebut diambil alih untuk menggambarkan kondisi buruh dalam system kapitalisme yang hanya didapat diatas jiak ada perubahan sosial dan ekonomi yang revolusioner. Dalam buku dengan judul Karl Marx yang ditulis oleh Allen Wood, alienasi didefinisikan sebagai “suatu situasi di mana seseorang menganggap dirinya tidak berani dalam hidup atau menganggap hidup sebagai ilusi. [8]
2.      Feminisme Gelombang Kedua
Gelombang kedua pemikiran feminism sangat signifikan pada pengorganisasian sejarah feminism. Awal kemunculan gelombang kedua feminism berhubungan dengan upaya mereka untuk beranjak dari aktivitas sifatnya yang praktis menuju kea rah kegiatan yang bersifat teoritis. Ternyata kemunculan pembebasan perempuan lewat paham “Kiri Baru” (new left) mempercepat pembentukan teori feminism. Persoalan yang dihadapi gerakan awal feminism adalah untuk mencoba mempengaruhi haluan Kiri Baru lainnya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, untuk melihat pentingnya factor penindasan terhadap perempuan usaha ini membutuhkan teori yang dapat menjelaskan asal-usual dan luasnya penindasan terhadap perempuan, dan secara historis yang juga berlaku di masyarakat yang berbeda-beda. Berikut ini adalah dua teori feminism pada gelombang feminism kedua.
2.1 Feminisme Eksistensial
Tokoh yang terkenal dalam teori feminism ekistensialis adalah Simon de Beauvoir. Simon melihat persoalan penindasan permpuan dimulai dengan adamya beban reproduksi di tubuh perempuan. Namun ia tidak sendirian, Shulamith Firestone dalam bukunya The Dialectic of Sex juga menyatakan bahwa beban reproduksi yang ditanggung perempuan dan tanggungjawab membesarkan anak membuat perempuan mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap laki-laki. Mulai dari data biologis, Simone de Beauvoir mencoba menjelaskan bagaimana sulitnya bagi perempuan untuk tetap menjadi dirinya sendiri, bagaimana kemudian ia menjadi apa yang disebut sebagai “yang lain” (the Other).
Persoalan the Other ini muncul ketika perempuan mulai mempercayai bahwa makhluk yang perlu dilindungi karena “kelemahan’ tubuhnya. Ia mulai berpikir bahwa ia tidak dapat hidup tanpa seorang laki-laki, apalagi bila ia yakin bahwa ia adalah bagian dari laki-laki (diciptakan dari tulang rusuk laki-laki). Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan, Simone  mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Sartre menyatakan bahwa terdapat tiga modus “ada” pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya, Ada-bagi-dirinya, dan Ada-untuk-orang lain. Filsafat Sartre yang paling dekat dengan feminism adalah “Ada untuk orang lain”. Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain”, dengan demikian, laki-laki mengklain dirinya sebagai jati diri dan perempuan sebagai yang lain, atau laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek.[9]
Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan, Simone de Beavoir mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Sartre menyatakan bahwa terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya (etre en soi), Ada-bagi-dirinya (etre pour soi) dan Ada-untuk-orang lain (etre pour les autres). Pada dua konsep pertama, cara berada etre-en-soi adalah ada yang penuh, sempurna dan digunakan untuk membahas objek-objek yang non manusia Karena ia tak berkesadaran. Dalam konsep etre-pour-soi, diperkenalkan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas menindak dimana diperkenalkan dengan konsep ketiadaan. Menurut Sartre, konsep ini hanya dapat dilakukan oleh manusia. Aktivitas menindak yang membuat konsep ketiadaan adalah sama dengan kebebasan. “Man is condemned to be free”, manusia terkutuk untuk bebas. Oleh sebab itu, manusia menurutnya, harus  bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Filsafat Satre yang paling dekat dengan feminis adalah etre-pour-les autres (ada untuk orang lain). Ini adalah filsafat yang melihat relasi antar manusia. Bagi satre relasi antar manusia pada dasarnya diasalkan pada konflik. Konflik adalah ini dari relasi intersubyektif. Dalam perjumpaan antara subyek atau kesadaran, aktifitas menindak berlangsung, artinyamasing-masing pihak mempertahankan kesubyekannya. Sehingga terjadi usaha untuk mengobyekan orang lain. Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagao “yang lain” (other). Dengan demikian, laki-laki mengklaim dirinya sebagai jati diri dan perempuan sebagai yang lain.[10]
2.2  Feminisme gynosentrisme
Feminisme gynosentris yaitu feminisme yang memandang ketertindasan perempuan dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Feminis ini merupakan pengembangan dari feminisme radikal yang ekstrim. Teori ini mengatakan bahwa perempuan harus memformulasikan kekuatan kolektif, menumbuhkembangkan pengetahuan perempuan  yang akan membekali mereka untuk melawan control patriarkhial, baik secara fisik maupun kejiwaan.[11]
Melihat adanya perbedaan psyche diantara kedua jenis kelamin ini maka sebetulnya semakin memperjelas asal usul atau akar dari ketertindasan perempuan. Dalam upaya agar perempuan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan maka terlebih dahulu ia harus dapat memutuskan ‘tali’ pengikatnya dengan laki-laki. Karena tali pengikat perempuan dan laki-laki adalah cinta dan seksualitas maka politik liberalisasi perempuan yang efektif adalah dengan cara lesbianism. Ide ini tampil ke permukaan karena adanya penindasan terhadap perempuan. Pada dasarnya bermula dari hubungan seksual dimana posisi dan peran laki-laki cenderung dominan terhadap perempuan.
Persoalan dominasi seksual ini dielaborasi dengan jelas oleh Catharine MacKinnon. Tapi apakah yang ia maksud dengan dominasi seksual tersebut? Ia dengan tegas menyatakan bahwa seksualitas bukan suatu bidang yang netral. Ini artinya bahwa penindasan terhadap perempuan sebetulnya tidak akan selesai bila hanya semata-mata perempuan mempunyai akses yangsama terhadap kenikmatan dalam hubungan seksual.[12]
3.      Feminisme Gelombang Ketiga
Wacana gelombang ketiga feminism sangat dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme. Post modernism menawarkan pendekatan revolusioner pada studi-studi sosial, terutama mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan modern dan anggapan adanya pengetahuan uang obyektif-pergerakan postmodernisme mengabaikan sejarah, menolak humanism dan kebenaran tunggal. Postmodernisme meprtanyakan rigiditas pembatasan antara ilmu alam, humaniora, ilmu sosial, dan sastra, fiksi dan teori, image dan realitas. Post modernism memfokuskan diri pada wacana alternative, melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan dianggap irasional, tidak penting, terpretasi, tradisional, ditolak, dimarjinalkan dan disunyikan-semua ini yang tidak pernah diperhatikan modernism. Maka dari sini, dari pemahaman relaitas yang baru maka lahir feminism postmodernisme, feminism multicultural dan global serta ekofeminisme.[13]  
3.1 Feminisme Postmodernisme
Perempuan bagi pemikiran postmodern dilihat sebagai “yang lain” (sama seperti teori eksistensialisme). Perempuan mengalami alienasi disini tapi bukan hanya karena rasa tertekan atau rasa inferioritas akibat kondisi yang ada. Alienasi yang terjadi disebabkan cara berada, berpikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralitas, diverifikasi dan perbedaan. Postmodernisme menggali persoalan alienasi perempuan secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai system.[14]
3.2  Feminisme Multikultural dan ekofeminisme
Teori feminisme multikultural mempunyai landasan pemahaman yang sama dengan teori feminisme postmodern yakni sama-sama melihat individu sebagai yang ter-fragmentasi. Feminisme multikultural lebih mempermasalahkan ide bahwa ketertindasan perempuan itu “satu definisi”, artinya melihat ketertindasan perempuan hanya dalam satu aspek saja, yakni aspek seksisme mengabaikan aspek lainnya (kelas, pendidikan, umur, agama, dll).[15]
Ekofeminisme adalah salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dengan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam ekofeminisme perempuan ditempatkan sebagai “sososk yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam. Budaya patriarkhi menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat unggul, netral, pengelola “sah’bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan antara penindasan “sosok yang lain”, kerusakan alam dan dominasi patriarkhi, ekofeminisme menggunakan pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini pada penindasan permpuan, kerusakan alam, serta dominasi patriarkhi, ekofeminisme menggunakan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini pada penindasan perempuan, kerusakan alam dan dominasi patriarkhi sebagai penyebabnya.
Hal tersebut disebabkan pertama, ekofeminis melihat yang paling dirugikan dari kerusakan adalah perempuan. Kedua, peran gender perempuan (sebagai pengatur dari ekonomi domestic) bertindihan dengan permasalahan kerusakan alam dan lingkungan. Ketiga, beberapa ideology barat berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh gender laki-laki.[16]




















BAB III
PENUTUP
Apapun polemiknya, bahwa harus diakui kemajuan yangtelah dicapai oleh para feminis di Barat merupakan kerja keras lebih dari 20 tahun yang menggembirkan untuk sebagian besar perempuan yang kini telah merasakan manfaatnya. Akan tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa reinterpretasi perempuan ini dapat saja menjadi kekerasan baru. Hal ini yang terjadi di barat diman reinterpretasi menjadi wacana yang mendominasi dan pada akhirnya membentuk gaya otoriter yang baru. Tentunya hal ini menumbuhkan kejenuhan pada generasi muda perempuan, generasi X yang tidak perlu bergerombol seperti nenek, dan ibu mereka yang menjadi feminis dan terik-teriak dijalanan. Masa-masa itu bagi mereka telah using. Ada era baru yang ditawarkan di era komputerisasi atau postmodern ini dan kelihatannya bagi perempuan muda generasi 2000an sekarang ini, formulasi tentang identitas seksual mereka dirumuskan berbeda.












DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Qadir. Filsafat Berprespektif Feminis. Jakarta:YJP, 2004
Ritzer, George. TEORI SOAIOLOGI; Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Post Modern. Bantul: SBI, 2012
http://indahsurvyana.blogspot.com/2008/08/ekofeminisme.html, diakses pada kamis,          11 September 2014, pukul 22.30
http://myfikr.wordpress.com/2011/07/11/feminisme-multikultural-dan-global, diakses        pada kamis,     11 September 2014, pukul 22.30




[1] Qadir Arifin, Filsafat berperspektif feminis, (Jakarta:YJP,2003), h. 87
[3] Qadir Arifin, Filsafat berperspektif feminis, (Jakarta:YJP,2003), h.90-92
[5] George Ritzer, TEORI SOSIOLOGI; dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori social post modern, (Bantul: SBI, 2012), h.506

[7] Qadir Arifin, Filsafat berperspektif feminis, (Jakarta:YJP,2003), h. 110
[8] Ibid, h. 110-115
[9] Qadir Arifin, Filsafat berperspektif feminis, (Jakarta:YJP,2003), h. 123
[10] Ibid, h. 122-123
[11] http://yumasumi1908.blogspot.com/2013/07/state-of-arts-teori-feminisme.html, diakses pada kamis, 11 September 2014, pukul 22.30
[12] Ibid, h 124-125
[13] Ibid, h. 127
[14] Ibid, h. 128
[15] http://myfikr.wordpress.com/2011/07/11/feminisme-multikultural-dan-global, diakses pada kamis, 11 September 2014, pukul 22.30
[16] http://indahsurvyana.blogspot.com/2008/08/ekofeminisme.html, diakses pada kamis, 11 September 2014, pukul 22.30