MAKALAH
TEORI-TEORI FEMINISME
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Relasi Gender dalam Agama-agama
Dosen pengampu: Siti
Nadroh
Disusun oleh:
E. Ova Siti Sofwatul Ummah (1112033100049)
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr.Wb
Dengan menyebut asma’ Allah yang maha
bijaksana, yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah serta karunia yang
tidak terhitung nilainya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sampai akhir. Shalawat beserta salam semoga
tetap tercurahkan kepada kekasih Allah, panutan Alam termulya yakni Rasulullah
Muhammad SAW. serta keluarganya, dan sahabatnya.
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada dosen
yang telah membimbing kami dalam mempelajari mata kuliah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, bahkan jauh dari
kata sempurna, namun kesalahan dan kekeliruan merupakan suatu hal yang sulit
untuk dihindari. Oleh sebab itu penulis menghargai kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dalam
proses pembelajaran bagi penulis dan bagi semua yang membacanya.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER
KATA PENGANTAR ……………………….…………………………i
DAFTAR ISI …………...………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………1
A.
Latar belakang
………………………………...……………………1
B.
Rumusan masalah
…………………………….…………………….2
BAB II PEMBAHASAN …………………………...…………………...3
Teori-teori Feminisme ………………………..……………………….....3
BAB III PENUTUP ……………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebuah definisi
umum menyatakan bahwa feminism adalah sebuah kepercayaan bahwa perempuan
semata-mata karena mereka adalah perempuan diperlakukan tidak adil dalam
masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki serta
kepentingannya. Dalam pola patriarkal, perempuan menjadi sebuah hal yang bukan
laki-laki (atau citra yang tidak diinginkan laki-laki); dimana laki-laki
dianggap kuat, perempuan lemah; laki-laki dianggap lebih rasional dan mereka
emosional; laki-laki dianggap aktif, perempuan pasif; dan sebagainya. Dengan
dasar pemikiran yang menyejajarkan
mereka dengan gambaran-gambaran negative, perempuan tidak mendapat kesempatan
yang sama untuk masuk dalam budaya yang menjadi perhatian public maupun dunia
yang mencerminkan budaya. Singkatnya, feminism mencoba untuk mengubah situasi
ini.
Karena itu
feminisme dianggap sebagai suatu bentuk politik yang bertujuan untuk
mengintervensi dan mengubah kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan hal inilah maka salah satu tokoh feminisme menawarkan
definisi sementara tentang feminisme, yaitu ‘berbagai macam teori social yang
menjabarkan hubungan antara jenis kelamin dalam masyarakat dan perbedaan antara
pengalaman-pengalaman yang didalami oleh laki-laki dan perempuan’ teori yang
merupakan praktik politik Feminisme juga dipandang sebagai pendekatan terhadap
kehidupan social, filsafat dan etika yang berusaha mengoreksi bias-bias yang
mengarah pada kedudukan perempuan atau peremehan pengalaman perempuan dan suara
mereka dalam diskusi serius yang menentukan. Secara politis, feminisme juga
dipandang sebagai gerakan social, politik, dan kebudayaan dalam upaya mencapai
hak-hak dan kedudukan yang sama dalam semua suasana kehidupan, atau, lebih
radikal lagi untuk membangun tatanan baru dimana laki-laki tidak lagi patokan
melawan kesamaan dan secara normal terukur.
A.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan teori feminism?
b. Sebutkan tiga gelombang besar feminism
dan masalah yang diangkat didalamnya!
B.
Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan untuk
menambah pemahaman mengenai teori feminism dari tiga gelombang besar feminisme
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI- TEORI FEMINISME
Sebelum jauh membahas tentang teori-teori feminism, maka akan
dibahas terlebih dahulu perkembangan teori feminism dalam rangka memudahkan
pemetaan teori-teori feminism, terdapat tiga gelombang besar kelompok feminism.
Ketiga gelombang besar teori feminism ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
mengikuti sejarah perkembangan manusia. Feminism awal dimulai sejak 1800an
merupakan representasi gelombang feminis pertama. Ini merupakan landasan awal
dari pergerakan-pergerakan perempuan yang kelihatannya mereka lebih menyibukkan
diri sebagai aktivis pergerakan perempuan. Kemudian pada gelombang kedua,
tepatnya muncul dan berkembang pada awal-awal tahun 1960an, ada kegairahan dari
mereka untuk mempertanyakan representasi gambaran perempuan dalam segala
sesuatu yang feminine. Pada gelombang ini muncul refleksi tentang
persoalan-persoalan perempuan, dan sebagai turunannya lahir teori-teori yang
menyusun mengenai kesetaraan perempuan. Semantara itu pada gelombang ketiga,
teori-teori yang muncul ini mengikuti atau bersinggungan dengan
pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari sana kemudian lahir teori-teori
feminism yang lebih plural. Sebut saja misalnya feminism post modernism,
postcolonial, multicultural dan global. Selanjutnya, teori feminism adalah
secara sederhana ialah teori sosial yang menjabarkan hakikat perempuan dari
segala aspeknya, baik itu posisi perempuan di masyarakat, ekonomi, pendidikan,
dan budaya.
1.
Gelombang
Pertama Feminisme
Feminism awal
dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminism yang berkaitan dengan terjadinya
Revolusi Perancis (1789), yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat
pemikir-pemikir seperti Mary Wollsctonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth
Cady Stanton. Mereka semua ini bisa dibilang ada dibalik lahirnya deklarasi
Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls. Namun sebetulnya, sebagaimana
tercatat dalam sejarah sejarah peregerakan-pergerakan yang lebih terdahulu,
tersebut nama suster Juana Ines, seorang penyair dan pendidik yang lahir pada
tahun 1651. Ia merupakan perempuan pada jamannya yang sadar memilih untuk tidak
menikah dan memiliki anak agar dapat mengorbankan seluruh hidupnya untuk
belajar menulis puisi. Puisi-puisinya yang lahir pada abad ke-17 ini telah
menggambarkan ketidakadilan yang dialami perempuan atas nama cinta. Melalui
puisi-puisinya ia mengkritik secara tajam masyarakatnya yang tidak memberikan
hak pendidikan yang sama untuk perempuan. Selanjutnya pada abad ke-18 sistem
feudal menguasai masyarakat Eropa dengan ciri umum yakni system kerajaan. Raja
dan keturunan raja serta pangeran memiliki sebagian besar tanah yang ada.
Sementara masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani bekerja pada
tanah-tanah itu. Pada saat itu peremouan dan laki-laki bekerja bersama-sama
dalam menopang kehidupan mereka sehari-hari. Pada saat ini, isu tentang
ketidakadilan perempuan bisa dibilang blm ada, namun tercatat dalam sejarah
saat itu sebanyak 6000 perempuan-perempuan kelas menengah bawah yang bekerja sebagai
tukang cuci, penjahit baju, pekerja domestic, dan sebagainya, berdemonstrasi
pada bulan Oktober 1789, saat ketika para anggota dewan terhormat parlemen
membahas rencana konstitusi Perancis yang baru. Para perempuan
berbondong-bondong mendatangi Balai Kota menuntut turunnya harga roti. Tidak
lama berselang saat industrialisasi berkembang di Eropa, lahir kelas-lelas
sosial baru yang salah satunya yang menonjol adalah munculnya kelas menengah
perkotaan. Pada jaman ini, segala kemungkinan yang berkaitan dengan semangat,
penemuan dan ide-ide pembaruan terbuka lebar termasuk didalamnya
diskusi-diskusi soal kebebasan. Di Inggris seorang perempuan bernama Mary
Wollstonecraft (1759-1797), membuka sekolah khusus untuk perempuan di Newington
Green, London bagian utara. Pada tahun 1793 para perempuan yang tergabung dalam
kelompok Jacobins (perempuan yang memakai celana bergaris merah-putih) menuntut
hak perempuan untuk bisa bercerai dengan suaminya. Pergerakan demi pergerakan
terjadi hingga pada puncaknya pada tahun 1960an, ketika berlangsung Konferensi
Komisi Persamaan Hak Kesempata bekerja (Equal Employment Opportunity
Commission). Pada suatu malam, ketika konferensi tersebut sedang berlangsung,
para peserta khususnya perempuan merasa gerah dengan berjalannya acara. Mereka
merasa tidak diberi ruang bagi isu-isu dan pemikiran tentang perempuan, pada
akhirnya mereka berkumpul dikamar hotel seorang feminis yang ernama Betty
Friedan. Akhirnya mereka sepakat untuk membentuk sebuah organisai dengan
bendera NOW(National Organization for Women). Sebagai langkah pertama kelompok
ini kemudian membanjiri jalan-jalan berdemonstrasi mengecam perlakuan
diskriminasi yang mereka alami ditempat-tempat kerja. Mereka juga membombardir
Washington dengan telegram-telegram yang menuntut penghentian diskriminasi seks
disetiap bidang kehidupan. New York Times juga digugat karena telah
mensegregasikan iklan-iklan pekerjaan tertentu yang sesuai untuk perempuan dan
untuk laki-laki. Sebagai contoh pekrjaan sekretaris lebih cocok untuk perempuan
sementara mekanik lebih pas untuk laki-laki.
Pergerakan
perempuan di tahun 1960an dengan cepat mejadi landasan politik yang menyebar di
Eropa dan Amerika. Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang
feminism ini adalah lfeminisme liberal, feminism radikal dan feminism
Marxis/Sosialis.
1.1 Feminisme Liberal
Apa yang
disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan
yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan
bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan
punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran
ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan
perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan
bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal
mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.
Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal
yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya
masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan
individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring
keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh
karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat
pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak
sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi
perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang
politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi
hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan
dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Sebagai konsekuensinya, alirn liberalism menekankan individu untuk
mempraktekkan otonomi dirinya yang mengisi serta memenuhi dirinya. “hak” bagi
kaum liberal harus diprioritaskan daripada “kebaikan” dalam system hak individu
ini terdapat kerangka kerja dimana setiap individu diberikan kebebasan untuk
memilih kebaikan menurut individu itu sendiri meskipun dengan satu catatan
bahwa pilihan tersebut tidak boleh merugikan orang lain.
·
Perkembangan
Historis Pemikiran Feminis Liberal Abad ke-18: Pendidikan yang Sama untuk
Perempuan.
Zillah Einstein dalam bukunya The Tradican Future of Liberal
Feminism, menulis bahwa Marry Wollstonecraft (1759-1799) banyak menulis tentang
posisi ekonomi dan sosial peremouan Eropa yang tidak menguntungkan . sampai
pada abad ke 18, pekerjaan yang bersifat produktif, yakni pekerjaan yang
mendatangkan uang keluarga dilakukan diseputar keluarga baik oleh perempuan
maupun laki-laki. Namun perkembangan selanjurnya ketika insustrialisasi
berkembang dan pekerjaan diginring dari rumah menuju pabrik, maka perempuan
perempuan pada jaman ini kebnyakan dirumahkan dan mulai ditinggalkan.
Kebanyakan dari mereka adalah isteri-isteri para pengusaha yang mapan sehingga
para suami juga tidak perlu lagi mencari tambahan masukan dari para istri
melalui pekerjaannya dan pada saat itu pula tidak sulit untuk mencari asisten
rumah tangga. Sebagai akibatnya, kalangan perempuan kelas menengah tersebut
tidak prosuktif, baik diluar maupun di dalam rumah.
Bila kita membaca karya Mary Wollstonecraft yang terkenal, A
Vindication of the Right of Woman, maka disana terungkap bahwa
perempuan-perempuan kelas menengah tersebut dikenal sebagai perempuan borjuis
laksana “burung dalam sangkar” karena menjadi perempuan identic dengan dua arah
kehidupan yaitu mereka harus mengorbankan kesehatan, kebebeasan dan
kemandirian. Disisi lain juga mereka harus berbangga dengan kemajuan-kemajuan
yang bukan dihasilkan oleh dirinya sendiri tetapi dihasilkan oleh suami-suami
mereka. mereka tidak keluar rumah karena mereka takut kulitnya terbakar dan
mereka sering terkena hangguan kesehatan karena janrang berolahraga.
Wollstonecraft sangat menghargai kemampuan rasio, kelihatannya
sangat embenci novel karya Jean Jacques Rousseau, yang berjudul Emile. Novel
ini merupakan sebuah karya klasik filsafat pendidikan. Didalamnya Rousseau
sering menggunakan kata-kata “laki-laki yang rasional” dan “perempuan yang
emosional” Rousseau berpendapat bahwa laki-laki harus diberi pendidikan
nilai-nilai keberanian, keadilan, ketabahan,dan sebaliknya perempuan harus
diberikan pendidikan nilai-nilai kesabaran, kepatuhan, periang, dan
fleksibilitas.ia selanjutnya menggambarkan Emile mendapat pendidikan pelajaran
humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alamiah. dengan harapan bahwa Emile akan
menjadi seorang laki-laki dan yang rasioanl, bermoral, percaya diri, dan
bertanggungjawab. Sebaliknya Sophie diberikan pelajran seni, music, puisi serta
keterampilan rumah dengan harapan ia akan berkembang menjadi perempuan yang
penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan.
Wollstonecraft setuju dengan proyeksi pendidikan yang diberikan
kepada Emile, tapi ia tidak setuju dengan pendidikan yang diberikan kepada
Sophi. Menurunya Sophi akan menjadi patner yang kurang baik bagi Emile, justru
ia akan menjadi penghancur. Maka jalan keluarnya ialah memberikan proyeksi
pendidikan yang sama terhadap keduanya. Selanjutnya, Wollstonecraft bermaksud
menyampaikan sebuah pesan, bahwa ia ingin perempuan menjadi manusia selayaknya
menjadi dirinya snediri atau menjadi seseorang. Perempuan bukan merupakan apa
yang Kant katakana sebagai ‘alat’ untuk mencapai kebahhagiaan orang lain akan
tetapi perempuan adalah ‘hasil akhir’ itu sendiri, seorang agen rasional yang
mempunyai kemampuan dan kehendak sendiri.
1.2
Feminisme
Radikal
Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada.
Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Feminism
radikal didasarkan pada keyakinan sentral:
Perempuan memiliki nilai positif sebagai perempuan, keyakinan yang
berlawanan dengann apa yang mereka klaim sebagai perendahan secara universal
terhadap perempuan.
Bahwa perempuan dimanapun berada selalu tertindad, tertidan secara
kejam oleh system patriarki.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek
utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang
mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang
dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk
(black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
Berikut ini adalah gerakan yang diperjuangkan oleh para feminism
radikal:
·
Pergerakan Kesehatan Perempuan
Pekerjaan yang penting bagi kalangan feminis radikal adalah
memperjuangkan isu-isu kesehatan. Mereka berkeyakinan bahwa persoalan kesehatan
perempuan dikontrol oleh laki-laki. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
mengontrol seksualitas perempuan. Pada tahun 1960, pergerakan kesehatan
perempuan melihat kemungkinan menangani kesehatan perempuan dari kacamata
perempuan. Mereka mulai merevisi kebijakan-kebijakan terhadap kesehatan
perempuan misalnya dengan menganggap penting pelayanan kesehatan yang baik bagi
perempuan, ketidak tergantungan pada teknologi-teknologi tinggi, penekana
biaya, serta tidak merekomendasikan atau bahkan menolak obat-obatan yang justru
membahayakan perempuan.
Kalangan feminis radikal mempelopori argumentasi aborsi dan pengunaan
alat kontarsepsi yang aman. “Hak untuk memilih” adalah slogan yang dilontarkan
untuk isu aborsi. Hak bagi setiap perempuan untuk menentukan apak ia ingin
mempunyai anak atau tidak. Keputusan tersebut menurut mereka harus selalu
berada di tangan perempuanyang memiliki badannya sendiri, dan bukan ditangan
dokter, hakim, atau rohaniawan.
·
Tubuh Perempuan Obyek Pertama Penindasan
Hal lain yang gigih diperjuangkan oleh
kalangan feminis radikal adalah mempermasalahkan dan bahkan mengecam kkeras
tindakan kekrasan laki-laki terhadap perempuan. Kelompok ini menunjukan bahwa
kekrasan terhadap perempuan yang selama ini begitu melekat pada budaya patriarchal
sehingga tidak mengherankan jika semua itu dianggap hal yang wajar dan sah-sah
saja. Perkosaan, kekerasan domestic, pornografi dan pelecehan seksual terjadi
pada perempuan-perempuan nakal atau perempuan yang memang sengaja mengundang
tindakan perlakuan tidak senonoh pada mereka sendiri. Pesan yang ingin
disampaikan disini adalah bahwa bila perempuan ini bertingkah laku baik dan
sopan serta patuh, tentu mereka tidak akan mengalami kekerasan.
1.3
Feminisme
Marxis dan Sosialis
Aliran
ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi
yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan kekerasan terhadap perempuan dapat terhapuskan.
Proyek teoretis feminisme sosialis mengembangkan tiga tujuan: (1) untuk
melakukan kritik atas penindasan berbeda namun saling terkait yang dilakukan
oleh patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang pengalaman perempuan, (2)
mengembangkan metode eksplisit dan tepat untuk melakukan analisis social dan
pemahaman yang luas tentang materialism historos, dan (3) memasukan pemahaman
tentang signifikansi gagasan kedalam analisis materialis tentang determinasi
kehidupan manusia.
Dua aliran feminism ini, sebenarnya mempunyai banyak persamaan satu sama
lain. Namun ada satu hal yang membuat kedua tradisi ini memiliki perbedaan.
Feminism sosialis lebih menekankan penindasan gender dissmping penindasan kelas
sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara feminism
marxis, persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang menyebabkan
perbedaan fungsi dan status perempuan.
Bagi feminism marxis, peremuan kelas borjuis (kels menengah keatas) tidak
akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar (kelas
buruh). Kalangan feminism marxis mengajak kita untuk mengetahui bahwa
penindasan terhadap perempuan yang terjadi selam ini bukan disebabkan oleh
perbuatan kesengajaan individu atau institusi yang merugikan perempuan. Atas
dasar itu, tidak mengherankan jika mereka tidak percaya mengenai konsep hokum
dan kebijaksanaan yang sensitive gendes seperti selama ini diyakini oleh
kalangan feminis radikal. Menurut kalangan feminism marxis, penindasan
perempuam terjadi melalui produk politik, sosiall dan struktur ekonomi yang
berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai system kapitalisme.
Berikut ini adalah hal-hal esensial yang dibahas dalam Feminisme Marxis
dan Sosialis:
·
Konsep Manusia
Didalam konsep liberalism, manusia digambarkan sebagai ‘ada’ yang berbeda
dari binatang. Manusia adalah makhluk berpikir rasional, memakai Bahasa dan
mempunyai symbol-simbol keagamaan, seni, dan ilmu pengetahuan. Manusiapun
mempunyai pola karakteristik kompetitif dan bertendensi untuk menonjolkan diri.
Kaum marxis menolak teori ini. Mereka lebih menkankan pada gambaran manusia
sebagai makhluk yang menjadikan dirinya sendiri. Manusia didefinisikan melalui
karyanya, lewat produktivitasnya. Ini terlihat misalnya, ketika mereka bertani,
berburu atau bekerja di pabrik-pabrik.
·
Ekonomi
Sistem ekonomi modern, menurut Marx
adalah system dimana terjadi pertentangan antara kaum proletariat yang
dieksploitasikan dan kaum borjuis yang disebut kelas kapitalis (kelas pemilik
modal). Kelas pemilik modal adalah kelas yang dewasa ini mengontrol kehidupan
ekonomi di berbagai Negara, khususnya Negara-negara berkembang. Bagi Marx, kaum
borjuis ini semakin serakah mengembangkan kekuasaannya dan semakin
seringmenindas kaum proletariat yang kondisinya semakin dirugikan.
·
Alienasi Perempuan
Teori Marx tentang kelas dan kesadaran
membawa kita pada teorinya yang lain, yaitu teori alienasi perempuan. Pada
awalnya kata tersebut dipakai oleh Hegel untuk menggambarkan keterasingan
manusia dari alam dan ini dapat diatasi dengan pengetahuan diri. Oleh Marx
istilah tersebut diambil alih untuk menggambarkan kondisi buruh dalam system
kapitalisme yang hanya didapat diatas jiak ada perubahan sosial dan ekonomi
yang revolusioner. Dalam buku dengan judul Karl Marx yang ditulis oleh Allen
Wood, alienasi didefinisikan sebagai “suatu situasi di mana seseorang
menganggap dirinya tidak berani dalam hidup atau menganggap hidup sebagai
ilusi.
2.
Feminisme
Gelombang Kedua
Gelombang kedua
pemikiran feminism sangat signifikan pada pengorganisasian sejarah feminism.
Awal kemunculan gelombang kedua feminism berhubungan dengan upaya mereka untuk
beranjak dari aktivitas sifatnya yang praktis menuju kea rah kegiatan yang
bersifat teoritis. Ternyata kemunculan pembebasan perempuan lewat paham “Kiri
Baru” (new left) mempercepat pembentukan teori feminism. Persoalan yang
dihadapi gerakan awal feminism adalah untuk mencoba mempengaruhi haluan Kiri
Baru lainnya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, untuk melihat
pentingnya factor penindasan terhadap perempuan usaha ini membutuhkan teori
yang dapat menjelaskan asal-usual dan luasnya penindasan terhadap perempuan, dan
secara historis yang juga berlaku di masyarakat yang berbeda-beda. Berikut ini
adalah dua teori feminism pada gelombang feminism kedua.
2.1
Feminisme Eksistensial
Tokoh yang terkenal dalam teori feminism ekistensialis adalah Simon
de Beauvoir. Simon melihat persoalan penindasan permpuan dimulai dengan adamya
beban reproduksi di tubuh perempuan. Namun ia tidak sendirian, Shulamith
Firestone dalam bukunya The Dialectic of
Sex juga menyatakan bahwa beban reproduksi yang ditanggung perempuan dan
tanggungjawab membesarkan anak membuat perempuan mempunyai posisi tawar yang
lemah terhadap laki-laki. Mulai dari data biologis, Simone de Beauvoir mencoba
menjelaskan bagaimana sulitnya bagi perempuan untuk tetap menjadi dirinya
sendiri, bagaimana kemudian ia menjadi apa yang disebut sebagai “yang lain” (the Other).
Persoalan the Other ini
muncul ketika perempuan mulai mempercayai bahwa makhluk yang perlu dilindungi
karena “kelemahan’ tubuhnya. Ia mulai berpikir bahwa ia tidak dapat hidup tanpa
seorang laki-laki, apalagi bila ia yakin bahwa ia adalah bagian dari laki-laki
(diciptakan dari tulang rusuk laki-laki). Dalam menjelaskan dasar teorinya
tentang perempuan, Simone mengacu pada
teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Sartre menyatakan bahwa terdapat
tiga modus “ada” pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya, Ada-bagi-dirinya, dan
Ada-untuk-orang lain. Filsafat Sartre yang paling dekat dengan feminism adalah
“Ada untuk orang lain”. Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki
mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain”, dengan demikian,
laki-laki mengklain dirinya sebagai jati diri dan perempuan sebagai yang lain,
atau laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek.
Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan, Simone de Beavoir
mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Sartre menyatakan
bahwa terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya (etre en
soi), Ada-bagi-dirinya (etre pour soi) dan Ada-untuk-orang lain (etre pour les
autres). Pada dua konsep pertama, cara berada etre-en-soi adalah ada yang
penuh, sempurna dan digunakan untuk membahas objek-objek yang non manusia
Karena ia tak berkesadaran. Dalam konsep etre-pour-soi, diperkenalkan ciri khas
manusia yang mempunyai aktivitas menindak dimana diperkenalkan dengan konsep
ketiadaan. Menurut Sartre, konsep ini hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Aktivitas menindak yang membuat konsep ketiadaan adalah sama dengan kebebasan.
“Man is condemned to be free”, manusia terkutuk untuk bebas. Oleh sebab itu,
manusia menurutnya, harus bertanggung
jawab atas dirinya sendiri. Filsafat Satre yang paling dekat dengan feminis
adalah etre-pour-les autres (ada untuk orang lain). Ini adalah filsafat yang
melihat relasi antar manusia. Bagi satre relasi antar manusia pada dasarnya
diasalkan pada konflik. Konflik adalah ini dari relasi intersubyektif. Dalam
perjumpaan antara subyek atau kesadaran, aktifitas menindak berlangsung,
artinyamasing-masing pihak mempertahankan kesubyekannya. Sehingga terjadi usaha
untuk mengobyekan orang lain. Dalam relasi antara laki-laki dan perempuan,
laki-laki mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagao “yang lain” (other).
Dengan demikian, laki-laki mengklaim dirinya sebagai jati diri dan perempuan
sebagai yang lain.
2.2
Feminisme gynosentrisme
Feminisme
gynosentris yaitu feminisme yang memandang ketertindasan perempuan dari
perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan
lebih inferior dibandingkan laki-laki. Feminis ini merupakan pengembangan dari
feminisme radikal yang ekstrim. Teori ini mengatakan bahwa perempuan harus
memformulasikan kekuatan kolektif, menumbuhkembangkan pengetahuan
perempuan yang akan membekali mereka untuk melawan control
patriarkhial, baik secara fisik maupun kejiwaan.
Melihat adanya
perbedaan psyche diantara kedua jenis kelamin ini maka sebetulnya
semakin memperjelas asal usul atau akar dari ketertindasan perempuan. Dalam
upaya agar perempuan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan maka
terlebih dahulu ia harus dapat memutuskan ‘tali’ pengikatnya dengan laki-laki.
Karena tali pengikat perempuan dan laki-laki adalah cinta dan seksualitas maka
politik liberalisasi perempuan yang efektif adalah dengan cara lesbianism. Ide
ini tampil ke permukaan karena adanya penindasan terhadap perempuan. Pada
dasarnya bermula dari hubungan seksual dimana posisi dan peran laki-laki
cenderung dominan terhadap perempuan.
Persoalan
dominasi seksual ini dielaborasi dengan jelas oleh Catharine MacKinnon. Tapi
apakah yang ia maksud dengan dominasi seksual tersebut? Ia dengan tegas
menyatakan bahwa seksualitas bukan suatu bidang yang netral. Ini artinya bahwa
penindasan terhadap perempuan sebetulnya tidak akan selesai bila hanya
semata-mata perempuan mempunyai akses yangsama terhadap kenikmatan dalam
hubungan seksual.
3.
Feminisme Gelombang Ketiga
Wacana gelombang ketiga feminism sangat dipengaruhi oleh pemikiran
postmodernisme. Post modernism menawarkan pendekatan revolusioner pada
studi-studi sosial, terutama mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan modern
dan anggapan adanya pengetahuan uang obyektif-pergerakan postmodernisme
mengabaikan sejarah, menolak humanism dan kebenaran tunggal. Postmodernisme
meprtanyakan rigiditas pembatasan antara ilmu alam, humaniora, ilmu sosial, dan
sastra, fiksi dan teori, image dan realitas. Post modernism memfokuskan
diri pada wacana alternative, melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan
dianggap irasional, tidak penting, terpretasi, tradisional, ditolak,
dimarjinalkan dan disunyikan-semua ini yang tidak pernah diperhatikan
modernism. Maka dari sini, dari pemahaman relaitas yang baru maka lahir
feminism postmodernisme, feminism multicultural dan global serta ekofeminisme.
3.1 Feminisme
Postmodernisme
Perempuan bagi pemikiran postmodern
dilihat sebagai “yang lain” (sama seperti teori eksistensialisme). Perempuan
mengalami alienasi disini tapi bukan hanya karena rasa tertekan atau rasa inferioritas
akibat kondisi yang ada. Alienasi yang terjadi disebabkan cara berada, berpikir
dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan,
pluralitas, diverifikasi dan perbedaan. Postmodernisme menggali persoalan
alienasi perempuan secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada
bahasa sebagai system.
3.2
Feminisme
Multikultural dan ekofeminisme
Teori feminisme multikultural mempunyai landasan
pemahaman yang sama dengan teori feminisme postmodern yakni sama-sama melihat
individu sebagai yang ter-fragmentasi. Feminisme multikultural lebih
mempermasalahkan ide bahwa ketertindasan perempuan itu “satu definisi”, artinya
melihat ketertindasan perempuan hanya dalam satu aspek saja, yakni aspek
seksisme mengabaikan aspek lainnya (kelas, pendidikan, umur, agama, dll).
Ekofeminisme adalah salah satu cabang feminis
gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dengan perempuan
terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam ekofeminisme perempuan
ditempatkan sebagai “sososk yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang
diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok
miskin dan alam. Budaya patriarkhi menyebabkan adanya dominasi terhadap
perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan
menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat
unggul, netral, pengelola “sah’bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan antara penindasan
“sosok yang lain”, kerusakan alam dan dominasi patriarkhi, ekofeminisme
menggunakan pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini
pada penindasan permpuan, kerusakan alam, serta dominasi patriarkhi,
ekofeminisme menggunakan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini
pada penindasan perempuan, kerusakan alam dan dominasi patriarkhi sebagai
penyebabnya.
Hal tersebut disebabkan pertama, ekofeminis
melihat yang paling dirugikan dari kerusakan adalah perempuan. Kedua, peran
gender perempuan (sebagai pengatur dari ekonomi domestic) bertindihan dengan
permasalahan kerusakan alam dan lingkungan. Ketiga, beberapa ideology barat
berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh gender laki-laki.
BAB III
PENUTUP
Apapun polemiknya, bahwa harus diakui kemajuan yangtelah dicapai
oleh para feminis di Barat merupakan kerja keras lebih dari 20 tahun yang
menggembirkan untuk sebagian besar perempuan yang kini telah merasakan
manfaatnya. Akan tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa
reinterpretasi perempuan ini dapat saja menjadi kekerasan baru. Hal ini yang
terjadi di barat diman reinterpretasi menjadi wacana yang mendominasi dan pada
akhirnya membentuk gaya otoriter yang baru. Tentunya hal ini menumbuhkan
kejenuhan pada generasi muda perempuan, generasi X yang tidak perlu bergerombol
seperti nenek, dan ibu mereka yang menjadi feminis dan terik-teriak dijalanan.
Masa-masa itu bagi mereka telah using. Ada era baru yang ditawarkan di era
komputerisasi atau postmodern ini dan kelihatannya bagi perempuan muda generasi
2000an sekarang ini, formulasi tentang identitas seksual mereka dirumuskan
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Qadir. Filsafat Berprespektif Feminis. Jakarta:YJP,
2004
Ritzer, George. TEORI SOAIOLOGI; Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Post
Modern. Bantul: SBI, 2012
George Ritzer,
TEORI SOSIOLOGI; dari teori sosiologi
klasik sampai perkembangan mutakhir teori social post modern, (Bantul: SBI,
2012), h.506